Sword Art Online Bahasa Indonesia:Jilid 2 Bab 1

|

Sword Art Online Volume 2 Chapter 1 Sang Pendekar Hitam (Lantai ke-35 Aincrad, Februari 2024)

Silica adalah salah satu dari «Beast Tamer[1]» yang langka di SAO, atau mungkin lebih tepatnya “pernah”. Familiar[2] miliknya, simbol dari seorang beast tamer, sudah tidak ada lagi.
Beast Tamer bukanlah class[3] atau skill[4] yang diberikan oleh sistem, melainkan istilah yang digunakan oleh para pemain.
Dalam suatu kejadian yang langka, monster yang agresif menunjukkan ketertarikannya terhadap para pemain. Kalau kalian tidak melewatkan kesempatan itu, kalian bisa berhasil menjinakkan monster tersebut dengan memberikannya sesuatu untuk dimakan. Lalu si monster akan menjadi «Familiar» si pemain dan mengabdi sebagai rekan yang berharga yang membantu si pemain dengan berbagai cara. Para pemain menyebut mereka yang telah berhasil melakukan hal itu sebagai beast tamer disertai campuran pujian dan rasa iri.
Tentu saja, tidak semua monster bisa menjadi familiar; hanya sedikit sekali ragam monster yang bisa. Kondisi untuk memicu terjadinya event[5] tersebut pun tidak jelas, namun satu-satunya syarat yang diyakini semua orang adalah eventnya tidak akan terjadi jika si pemain membunuh terlalu banyak monster jenis itu.
Ini adalah kondisi yang lumayan susah jika kalian pikirkan lagi. Bahkan jika seseorang mencoba untuk mendapatkan seekor familiar dengan menemui monster itu berulang-ulang, monster-monster tersebut bersifat agresif dan sang pemain tidak bisa menghindari pertarungan dengan mereka. Dengan kata lain, jika seseorang berkeinginan untuk menjadi seorang Beast Tamer, mereka harus terus menemui monster yang diinginkan, dan jika eventnya tidak terjadi mereka harus terus kabur. Tidak sulit untuk membayangkan betapa merepotkannya semua hal tersebut.
Kalian bisa bilang Silica sangat beruntung dalam perkara ini.
Dengan tanpa pengetahuan tentang permasalahan tadi, ia telah memasuki suatu hutan tanpa alasan apapun di lantai yang ia kunjungi hanya karena ia sedang ingin saja. Monster pertama yang ia jumpai tidak menyerangnya, tetapi hanya mendekatinya. Kemudian ia memberikan monster itu sebuah kacang yang ia beli hari sebelumnya tanpa banyak pikir, dan ternyata kacang itu adalah makanan yang disukai oleh si monster.
Monster tersebut adalah seekor «Naga Berbulu». Seluruh tubuhnya dilapisi oleh bulu-bulu biru pucat yang lembut, dan ia memiliki dua bulu yang panjang sebagai ganti dari ekor. Naga kecil tersebut adalah monster yang sangat jarang dijumpai. Mungkin Silica adalah orang pertama yang berhasil menjinakkannya, karena ia langsung menjadi pusat perhatian saat ia kembali ke kota asalnya «Friben» di lantai delapan dengan si naga kecil menduduki pundaknya. Hari berikutnya, tak terhitung banyaknya pemain yang mencoba untuk menjinakkan Naga Berbulu setelah mendengar informasi dari Silica, namun tidak ada yang berhasil.
Silica menamai naga kecil tersebut «Fina». Nama itu sama dengan nama yang ia berikan pada kucing miliknya di dunia nyata.
Monster-monster familiar dikenal memiliki stats[6] yang rendah untuk pertarungan sebenarnya dan Fina bukanlah pengecualian. Tapi sebagai gantinya mereka memiliki sejumlah skill spesial: kemampuan memindai yang memperingatkan sang pemain bahwa ada monster yang mendekat, skill yang sedikit menyembuhkan si pemain, dan sebagainya. Semua skill tersebut lumayan berguna dan menjadikan perburuan sehari-hari jauh lebih mudah. Tapi yang paling menyenangkan Silica adalah kehangatan dan kenyamanan yang dibawa oleh keberadaan Fina.
AI[7] dari seekor familiar memang tidak begitu hebat. Tentu saja, familiar tidak bisa bicara, dan mereka hanya bisa mengerti beberapa lusin perintah. Tapi bagi Silica, yang memasuki game tersebut saat dia hanya berusia dua belas dan tengah diliputi rasa takut dan gelisah, Fina adalah penyelamat yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa «Petualangan» Silica --- yang sebenarnya berarti «Hidup» di sini --- dimulai oleh Fina.
Setelah setahun, Silica dan Fina telah naik level dengan lancar dan kemampuannya sebagai pemakai pisau sudah cukup baik. Itulah yang membuatnya lumayan terkenal diantara para pemain level pertengahan sebagai salah satu yang terbaik dari mereka.
Tentu saja, dia masih jauh dari para petarung kelas atas yang bertempur di garis depan; tapi di sisi lain, beberapa ratus orang yang bertekad untuk menyelesaikan game ini diantara total tujuh ribu pemain lebih jarang terlihat dibanding para beast tamer. Karena itulah, menjadi terkenal diantara para pemain rata-rata kurang lebih sama dengan menjadi seorang idola di dalam game ini.
Karena pemain perempuan itu agak jarang, apalagi yang seumurannya, tidak butuh waktu lama bagi «Dragon Master Silica[8]» untuk menjadi pemain terkenal dengan banyak penggemar. Ia menerima banyak sekali undangan dari kelompok dan guild[9] yang menginginkan seorang pemain idola dan bagi Silica yang baru berusia tiga belas tahun, menjadi terlalu bangga dengan dirinya sendiri sudah tak terhindarkan lagi. Tetapi akhirnya, harga diri itu menyebabkannya melakukan kesalahan yang tidak dapat dia ubah lagi sebesar apapun penyesalannya.
Sebuah pertengkaran karena hal kecil memulai semuanya.
Waktu itu Silica berada di dalam hutan yang sangat luas di utara lantai tiga puluh lima, dikenal sebagai «Hutan Pengembaraan», dengan kelompok yang ia jumpai dua minggu sebelumnya. Saat itu, garis depan sudah jauh di lantai lima puluh lima, jadi lantai tiga puluh lima sudah terselesaikan. Tapi para petarung kelas atas tidak peduli dengan hal selain menyelesaikan area labirin, jadilah sub-dungeon[10] seperti «Hutan Pengembaraan» populer sebagai target bagi para pemain rata-rata.
Karena kelompok enam orang yang dimasuki Silica tersusun dari para petarung tangguh, mereka telah bertempur dari pagi dan menemukan item yang lumayan banyak, termasuk beberapa peti harta karun. Tapi ketika matahari mulai terbenam dan mereka semua mulai kehabisan ramuan penyembuh, mereka mulai berjalan pulang ke area tempat tinggal. Seorang pemain wanita yang langsing yang menggunakan tombak lalu mengucapkan sesuatu, mungkin untuk mengatur Silica.
"Kita akan membagikan item-itemnya begitu sampai. Tapi karena kamu disembuhkan kadalmu, kamu ga akan butuh kristal penyembuhnya kan?"
Silica merasa tersinggung lalu menyerang balik.
"Kamu bahkan tidak maju ke depan dan cuma berkeliaran di belakang kelompok, jadi kamu juga tidak pakai kristal."
Setelah itu, pertengkaran semakin memanas, dan usaha sang ketua tim, seorang pengguna pedang dan perisai, untuk menghentikannya sama sekali diabaikan. Akhirnya, dalam kemarahan Silica berkata:
"Aku tidak butuh item-itemnya. Aku tidak akan sekelompok dengan kalian lagi. Lagian banyak orang yang ingin sekelompok denganku!"
Mengabaikan saran sang ketua untuk setidaknya tetap bersama dengan kelompok sampai mereka keluar dari hutan tersebut dan sampai di area tempat tinggal, dia meninggalkan grup itu dan berjalan tanpa arah di sebuah jalur kecil.
Walaupun dia sendirian, dia telah menguasai tujuh puluh persen skill pisaunya dan mempunyai Fina untuk mendukungnya, jadi monster-monster lantai tiga puluh lima bukan masalah baginya. Dia dapat melalui hutan itu dan kembali ke area tempat tinggal tanpa masalah apapun. Itu, kalau dia tidak tersesat.
Bukan tanpa alasan hutan itu dijuluki «Hutan Pengembaraan».
Hutan yang sangat besar itu dipenuhi pohon-pohon besar yng menjulang tinggi dan terbagi menjadi area-area seperti papan catur; satu menit setelah kalian menjejakkan kaki di sebuah area, area itu akan disambungkan oleh warp[11] ke area lain yang sama sekali berbeda secara acak. Jika kalian ingin keluar dari hutan itu, kalian harus melalui setiap area dalam satu menit, atau membeli peta yang mahal dari sebuah toko di area tempat tinggal, yang memeriksa area-area yang tersambung dengan lokasi kalian ketika kalian melewati hutan tersebut.
Tapi satu-satunya orang dengan peta itu hanyalah si ketua. Karena menggunakan kristal teleport di dalam Hutan Pengembaraan justru menteleport[12] kalian ke area lain di hutan bukannya kembali ke kota, Silica harus mencoba melewati tiap area. Namun berlarian diantara akar pohon yang besar-besar dan mengikuti jalan setapak yang berliku-liku ternyata lebih sulit dari yang ia bayangkan.
Silica memutuskan untuk terus menuju arah utara, tetapi karena batas waktunya selalu terlewat persis sebelum dia dapat mencapai ujung area tersebut, maka dia selalu berakhir di suatu area tak dikenal lagi dan lagi. Sebentar kemudian dia mendekati batas kesadarannya sebelum pingsan karena kelelahan. Cahaya merah dari matahari terbenam semakin menua dan dia merasa semakin cemas melihat langit menggelap dan peluangnya keluar dari dungeon tersebut makin mengecil.
Akhirnya, Silica berhenti berlari dan mulai berjalan, berharap dia bisa sampai ke area di ujung hutan secara kebetulan. Tapi keberuntungan tidak berpihak padanya, dan banyak monster yang menyerangnya setiap kali dia tersandung. Bahkan dengan levelnya yang jauh lebih tinggi, saat hari semakin gelap dia bahkan tidak bisa melihat apa yang ada di tanah dengan jelas. Walau dia memiliki Fina untuk menolongnya, dia tidak berhasil keluar dari setiap pertarungan tanpa terluka dan akhirnya dia menghabiskan tidak hanya ramuannya yang tersisa tapi juga ramuan penyembuh darurat miliknya.
Seakan merasakan kegelisahan Silica, Fina membelai pipi Silica dengan kepalanya selagi mendengkur di bahunya. Silica menyesali ketergesaan dan harga dirinya yang telah membuatnya terjebak dalam situasi ini seraya membelai leher panjang partnernya dengan gaya menenangkan.
Sambil berjalan dia bergumam dalam pikirannya:
"Maafkan aku. Aku tak lagi berpikir aku ini istimewa. Jadi tolong biarkan aku keluar dari hutan ini saat aku melakukan warp berikutnya."
Dia melangkah ke zona warp lain sambil berdoa. Setelah gelombang memusingkan yang singkat, yang muncul di hadapannya adalah hutan belantara yang sama dengan yang telah ia lihat di waktu-waktu sebelumnya. Bahkan tidak ada tanda-tanda dataran di kegelapan dibalik pohon-pohon tinggi itu.
Ketika Silica yang kecewa mulai berjalan lagi, Fina dengan cepat mengangkat kepalanya dan mengeluarkan pekikan tajam. Sebuah peringatan. Silica segera mengambil pisaunya dan mengarahkannya ke arah yang ditatap Fina dari tadi.
Beberapa detik kemudian, sebuah geraman pelan terdengar dari balik sebuah pohon besar yang tertutup lumut. Begitu Silica memfokuskan pandangannya, muncul sebuah kursor kuning. Mereka ada beberapa. Dua, bukan... tiga. Nama monsternya «Kera Mabuk». Mereka salah satu monster terkuat di Hutan Pengembaraan. Silica menggigit bibirnya.
Walaupun begitu---
Mereka tidak seberbahaya itu jika hanya melihat levelnya. Ketika pemain level menengah, seperti Silica, pergi ke medan perburuan, sudah menjadi akal sehat untuk beberapa level lebih tinggi dari monster yang muncul. Biasanya, level mereka cukup tinggi untuk mengalahkan lima monster sendirian tanpa menggunakan item penyembuh.
Alasannya adalah, tidak seperti para petarung kelas atas di garis depan, pemain-pemain kelas menengah berpetualang untuk mendapatkan coll yang cukup untuk hidup sehari-sehari, untuk mendapatkan cukup experience[13] supaya dapat bertahan di kisaran level rata-rata, dan terakhir untuk menghilangkan kebosanan. Diantara alasan-alasan ini, tidak satupun yang patut untuk mempertaruhkan nyawa kalian untuknya. Bahkan, masih ada sekitar seribu pemain di «Starting City» yang menolak untuk meningkatkan kemungkinan tewas sekecil apapun.
Tapi seseorang butuh penghasilan tetap untuk makan dan tidur. Ditambah lagi, semua pemain MMORPG[14] seperti terkena wabah yang membuat mereka merasa tidak aman jika mereka setidaknya berada di level rata-rata. Karena inilah, setelah satu tahun setengah setelah game ini dimulai, kebanyakan pemain sekarang bepergian ke medan perburuan dengan level yang jauh lebih tinggi untuk menikmati petualangan di dunia ini.
Karenanya, para Kera Mabuk, yang dibanggakan sebagai salah satu dari monster terkuat di lantai tiga puluh lima, bukan benar-benar tantangan bagi Silica; setidaknya begitulah yang seharusnya.
Silica mengangkat pisaunya seraya memaksa pikirannya untuk berkonsentrasi. Fina juga melayang naik sebagai persiapan bertarung.
Monster-monster yang muncul dari belakang pohon tersebut merupakan antropoid yang tertutup bulu merah tua. Mereka memegang pentungan kasar di tangan kanannya dan sejenis kundur[15] yang diikat oleh sebuah benang di tangan kirinya.
Begitu kera-kera tersebut mengangkat pentungannya dan memperlihatkan gigi mereka untuk meraung, Silica menyerbu ke arah kera yang di depan untuk melakukan serangan pertama. Dia berhasil melakukan pukulan telak dan mengurangi HP[16] kera itu lumayan banyak dengan «Rapid Bite», sebuah skill pisau tipe menyerbu kelas menengah, lalu melakukan sebuah combo[17] berkecepatan tinggi yang merupakan salah satu keuntungan terbesar dari menggunakan pisau.
Para Kera Mabuk menggunakan skill-skill gada tingkat rendah, dan walaupun setiap pukulan memiliki kekuatan yang dahsyat, mereka lamban dan tidak memiliki kombo multi-pukulan. Silica menghujani Kera Mabuk itu dengan serangan lalu mundur sejenak hanya untuk menyerbu lagi untuk memulai penyerangan baru. Setelah melakukannya beberapa kali, HP Kera Mabuk tersebut telah berkurang banyak dalam waktu sebentar. Kadang-kadang, Fina juga menggunakan serangan nafasnya yang seperti gelembung untuk membingungkan musuh.
Tetapi persis sebelum dia akan menggunakan skill keempatnya «Fad Edge» dan membunuh kera pertama...
Seekor lawan baru muncul dari belakangnya, bertukar dengan si kera pertama selama waktu jeda yang singkat. Silica tidak punya pilihan selain mengganti sasarannya dan mulai menyerang si kera kedua. Si kera pertama lalu mundur dan mengayunkan kundurnya dengan tangan kirinya—
Silica terkejut begitu dia melihat sekilas bar HP si Kera Mabuk pertama. Bar HP nya terisi kembali dengan kecepatan mengagumkan. Tampaknya kundur tersebut mengandung sejenis cairan penyembuh.
Dia telah menghadapi Kera Mabuk di lantai tiga puluh lima sebelumnya, tetapi waktu itu mereka hanya berdua, dan dia membunuh keduanya sebelum mereka punya kesempatan untuk bertukar, jadi dia tidak mengetahui skill spesial ini. Silica mengertak giginya dan berkonsentrasi untuk menghabisi si kera kedua dengan benar.
Namun begitu dia mengurangi bar HP si kera ke zona merah dan memperlebar jarak diantara mereka untuk memulai serangan terakhirnya, kera itu bertukar dengan kera lainnya. Kera mabuk yang ketiga. Pada saat itu kera yang pertama sudah hampir mengisi penuh bar HP nya.
Kalau begini terus tidak akan ada akhirnya. Mulut Silica mengering karena gelisah.
Silica memang sebenarnya hampir tidak punya pengalaman bertarung solo sama sekali. Walaupun dia mempunyai keuntungan karena perbedaan level yang besar sekali, itu hanyalah angka-angka; kemampuan sebenarnya si pemain adalah hal yang sama sekali berbeda. Kegelisahan yang muncul di pikiran Silica mulai berubah menjadi rasa bingung. Dia mulai lebih sering meleset, sehingga memberikan ruang untuk lawannya menyerang balik.
Ketika dia berhasil mengurangi sekitar setengah HP kera mabuk ketiga, usahanya untuk terus melakukan combo menyebabkannya terjerembab. Sang kera tidak melewatkan kesempatan itu dan menyerang balik, yang berhasil mendaratkan sebuah pukulan telak.
Gada kayu nya dibuat dengan kasar, namun damage dasar dari beratnya dikombinasikan dengan kekuatan si Kera Mabuk menyebabkan HP Silica berkurang hampir tiga puluh persen. Rasa takut pun menyerang sekujur tubuhnya.
Fakta bahwa dia telah kehabisan ramuan penyembuh menambah kegugupannya. Nafas Fina memulihkan sekitar sepuluh persen HP nya, namun kemampuan itu bukanlah sesuatu yang bisa Fina gunakan terlalu sering. Bahkan dengan kemampuan itu pun, jika dia terkena serangan seperti itu tiga kali lagi --- dia akan mati.
Mati. Silica membeku begitu kemungkinan tersebut melintas dalam pikirannya. Tangannya tidak mau terangkat. Kakinya tidak mau bergerak.
Sampai sekarang, bertarung selalu mengasyikkan, tetapi selalu jauh dari bahaya sesungguhnya. Silica sebelumnya tidak pernah berpikir bahwa bertarung itu terhubung dengan «Kematian» sesungguhnya---
Saat dia berdiri membeku di depan Kera Mabuk yang meraung dan mengangkat pentungannya lagi, Silica menyadari untuk kali pertama arti sebenarnya dari bertarung dengan monster di SAO. Ini sebuah kontradiksi; SAO adalah sebuah game, tapi di saat yang sama SAO bukanlah sesuatu untuk dimainkan.
Dengan suara tumpul gada yang membelah udara, serangan tersebut membentur Silica begitu dia berdiri dengan tegar. Dia tidak mampu menerima dampaknya dan roboh ke tanah. HP nya berkurang banyak dan berubah menjadi oranye.
Dia tidak bisa berpikir apa-apa lagi. Dia bisa melarikan diri. Dia bisa menggunakan kristal teleport. Masih ada pilihan lain yang bisa dia buat, namun dia hanya terpana melihat pentungan itu saat si kera mengangkatnya untuk kali ketiga.
Senjata yang kasar itu mengeluarkan sebuah kilauan merah, dan ketika dia akan menutup matanya secara refleks---
Sebuah sosok kecil melompat ke ruang diantara Silica dan gada si kera. Sebuah suara yang berat dan menakutkan terdengar. Bulu-bulu biru langit berhamburan seketika begitu bar HP yang kecil itu turun ke angka nol.
Fina menatap Silica dengan matanya yang bulat dan biru setelah dia jatuh ke lantai. Ia mengeluarkan geraman lemah lalu berhamburan menjadi polygon yang tak terhitung banyaknya. Sebuah bulu ekor yang panjang melayang turun bagai sedang menari.
Sesuatu meletup dalam diri Silica. Benang yang telah menjaganya sudah menghilang. Sebelum rasa sedih sempat menyeruak, dia merasa marah: marah kepada dirinya sendiri karena tidak dapat bergerak hanya karena telah terkena satu serangan; dan sebelum itu, marah kepada dirinya sendiri karena takabur untuk mencoba melalui hutan itu sendirian hanya karena ia merasa kesal oleh pertengkaran kecil.
Dengan gerakan yang luwes Silica melangkah mundur, menghindari serangan yang diayunkan ke arahnya oleh si monster. Dia lalu menyerbu dengan sebuah teriakan. Pisau di tangan kanannya berkilau begitu menghujani si kera dengan serangan.
Silica bahkan tidak mencoba untuk menghindari pentungan kera yang bertukar dengan temannya setelah melihat HP temannya itu berkurang, namun malah menangkisnya dengan tangan kirinya. HP nya berkurang, walaupun tidak sebanyak jika terkena langsung. Tetapi ia mengabaikannya dan mengejar kera ketiga, kera yang telah membunuh Fina.
Silica memanfaatkan perawakannya yang kecil, menerjang langsung ke arah si kera, dan menusukkan pisaunya ke kera tersebut. Dengan sebuah efek pukulan kritikal yang menyilaukan, HP musuhnya habis tak bersisa. Pertama suara jeritan, lalu suara benda pecah yang terdengar.
Diantara sisa-sisa yang sedang berhamburan, Silica memalingkan tubuhnya dan menyerbu ke arah sasaran baru. Bar HP nya sudah menjadi berwarna merah yang berarti bahaya, tapi dia sudah tak peduli lagi. Dia hanya melihat musuh yang harus ia bunuh, seakan diperbesar untuk memenuhi pandangan matanya.
Dia bahkan lupa rasa takutnya terhadap kematian dan baru akan mencoba melakukan sebuah serbuan mematikan di bawah gada yang sedang mengayun.
Sebuah cahaya putih bersih memotong kedua Kera Mabuk itu begitu mereka berdiri berdampingan.
Badan kedua kera itu masing-masing terbelah dua dalam sekejap; lalu mereka pecah dan menghilang.
Silica berdiri dengan lunglai ketika dia melihat seorang pemain pria dibalik pecahan-pecahan yang berhamburan. Dia berambut hitam dan memakai mantel hitam. Dia memang tidak terlalu tinggi, namun aura keberadaan yang luar biasa terpancar dari dirinya. Silica melangkah mundur begitu dia merasakan rasa takut yang naluriah. Mata mereka bertemu.
Tetapi matanya sunyi dan sedalam kegelapan. Anak laki-laki itu menyarungkan pedang satu tangannya ke dalam sarung pedang di punggungnya dengan bunyi berderang lalu membuka mulutnya.
"Maafkan aku. Aku gagal menyelamatkan temanmu"
Dia kehilangan tenaga begitu mendengarnya. Dia tidak dapat lagi menahan air mata membasahi pipinya. Dia bahkan tidak menghiraukan pisaunya terlepas dari tangannya dan jatuh ke tanah. Segera setelah dia melihat bulu biru langit di tanah, dia langsung berlutut di hadapannya.
Setelah kemarahannya hilang, perasaan sedih dan kehilangan menguasainya. Mereka mewujud dalam bentuk air mata dan bergulir menuruni pipinya tanpa henti.
Familiar tidak diprogram untuk menghentikan serangan sebagai perilaku normalnya. Fina telah menghadang serangan itu dengan kemauannya sendiri --- bisa dibilang itulah hasil dari cintanya terhadap Silica, yang telah menghabiskan waktu setahun bersamanya.
Sambil mencengkram dirinya sendiri, Silica bergumam sambil menangis.
"Kumohon... jangan tinggalkan aku sendiri... Fina..."
Namun bulu biru langit itu tidak memberikan jawaban apapun.


"...Aku minta maaf."
Ucap si pemuda berpakaian serba hitam itu lagi. Silica menggelengkan kepalanya dan mencoba mati-matian menghentikan air matanya.
"...Tidak... Aku yang... bertindak bodoh... terima kasih...telah menyelamatkanku..."
Dia berhasil untuk memaksakan diri mengucapkan kata-kata tersebut begitu dia berhenti menangis.
Pemuda itu berjalan perlahan ke arah Silica lalu berlutut di depannya sebelum bertanya ragu-ragu.
"...Bulu itu, apa mungkin bulu itu punya nama item?"
Terkejut oleh pertanyaan yang diluar perkiraan itu, Silica mengangkat kepalanya. Dia menyeka air matanya lalu memalingkan tatapannya ke arah bulu yang dimaksud.
Sekarang ketika dia memikirkannya lagi, memang aneh cuma bulunya yang tersisa. Baik itu monster maupun manusia, makhluk di dunia ini biasanya tidak meninggalkan apa-apa setelah mati, bahkan equipmentnya pun tidak. Silica dengan ragu meraih bulu tersebut dengan tangannya lalu mengklik permukaannya dengan jari telunjuk. Layar setengah transparan yang muncul memperlihatkan nama dan berat bulu tersebut.
«Fina's Heart»
Begitu Silica akan mulai menangis lagi setelah melihatnya, si pemuda menghentikannya.
"Tu-tunggu-tunggu. Kalau hatinya tertinggal, kamu bisa menghidupkannya lagi."
"Apa!?"
Silica mengangkat kepalanya dengan tajam. Dia menatap wajah si pemuda dengan mulut setengah terbuka.
"Itu ditemukan beberapa waktu lalu, jadi masih banyak orang yang belum tahu. Ada dungeon bernama «Bukit Kenangan» di wilayah utara lantai empat puluh tujuh. Lumayan susah walaupun namanya begitu... tapi katanya bunga yang mekar di puncaknya adalah item penghidup famili-."
"Be-Beneran!?"
Silica berdiri dan bersorak sebelum si pemuda selesai bicara. Rasanya harapan membanjiri dadanya, yang dipenuhi rasa duka. Tapi—
"...Lantai empat puluh tujuh..."
Silica bergumam dan mengendurkan bahunya. Itu dua belas lantai di atas level ini, lantai tiga puluh lima. Pastinya bukan area yang aman bagi Silica.
Persis ketika ia memalingkan matanya yang kecewa ke lantai.
"Hmm—"
Pemuda di hadapannya berkata dengan suara terganggu.
"Aku bisa mengambilkannya buatmu kalau kamu memberiku ongkos dan sejumlah biaya, tapi mereka bilang bunga itu hanya muncul kalau beast tamer yang kehilangan familiarnya ikut pergi..."
Silica tersenyum kepada swordsman yang tak disangka-sangka ternyata baik itu dan berkata:
"Tidak... Aku senang dengan informasi yang kamu kasih. Kalau aku bekerja keras untuk naik level, suatu hari aku akan bisa..."
"Alasan kenapa kamu ga bisa melakukan itu adalah, katanya familiar cuma bisa dihidupkan lagi dalam waktu empat hari setelah mereka mati. Setelah itu, nama itemnya akan berubah dari «Heart» menjadi «Remains»..."
"Apa...!"
Silica tidak mampu menahan dirinya berteriak.
Sekarang levelnya empat puluh empat. Kalau SAO merupakan RPG biasa, lantai dungeon akan sesuai kesulitannya dengan pemain berlevel sama. Tapi karena SAO adalah game kematian yang gila, area yang aman adalah sekitar sepuluh level di bawah sang pemain.
Dengan kata lain, untuk menjelajahi lantai empat puluh tujuh, Silica harus setidaknya mencapai level lima puluh lima. Tetapi bagaimanapun ia memikirkannya, tidak mungkin naik sepuluh level hanya dalam empat hari... tidak, dua hari kalau dia menghitung waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan dungeonnya. Dia cuma berhasil mencapai levelnya sekarang karena dia berpetualang dengan tekun.
Silica menjatuhkan kepalanya dan keputusasaan menguasainya sekali lagi. Dia mengambil bulu Fina dari tanah dan memeluknya dengan lembut di dadanya. Air matanya bermunculan saat dia mengutuk kebodohan serta ketidakberdayaannya.
Silica menyadari si pemuda mulai berdiri lagi. Ia pikir dia akan pergi dan ia setidaknya harus mengucapkan selamat jalan, namun ia tidak memiliki energi lagi untuk membuka mulutnya—
Tapi tiba-tiba, layar setengah transparan muncul di hadapannya. Sebuah layar transaksi. Saat Silica mengangkat kepalanya, dia melihat pemuda itu sedang memanipulasi layar lainnya. Item-item mulai bermunculan satu per satu dalam seksi transaksi. «Silver Thread Armor», «Ivory Dagger»... Semuanya adalah equipment yang Silica bahkan belum pernah melihatnya.
"Errm..."
Ketika dia membuka mulutnya ragu-ragu, si pemuda menjelaskan dengan santai:
"Ini seharusnya cukup untuk sekitar lima, enam level. Kalau aku pergi denganmu seharusnya tidak apa-apa."
"Apa...?"
Silica berdiri dengan mulut sedikit terbuka. Dia tidak bisa mengira apa yang dipikirkan pemuda itu, jadi dia melihat langsung ke arahnya. Tapi karena sistemnya SAO, yang dapat dilihatnya hanyalah bar HP si pemuda; dia bahkan tidak bisa mengetahui nama atau levelnya.
Sulit untuk menebak berapa umurnya. Equipmentnya berwarna serba hitam. Kekuatan dan ketenangan yang terpancar darinya membuatnya terlihat beberapa tahun lebih tua dari Silica, namun matanya yang tertutup oleh poninya yang panjang entah mengapa tampak tidak berdosa, dan garis-garis wajahnya yang feminin membuatnya terlihat sedikit seperti perempuan. Silica dengan hati-hati bertanya:
"Kenapa... kamu baik banget...?"
Sebenarnya, dia sangat waspada.
Sampai sekarang, beberapa pemain pria yang jauh lebih tua dari Silica telah mencoba mendapatkan cintanya; bahkan dia pernah mendapatkan lamaran sekali. Bagi Silica, yang baru berusia tiga belas tahun, pengalaman-pengalaman ini hanya memberinya rasa takut. Dia bahkan belum pernah mendapatkan pernyataan cinta di dunia nyata.
Tidak terelakkan lagi, Silica jadi mulai menghindari pemain pria yang tampak memiliki ketertarikan semacam itu. Lagipula, «selalu ada motif dibalik kata-kata manis» adalah akal sehat di Aincrad.
Pemuda itu menggaruk kepalanya lagi, seakan kehabisan jawaban. Ia membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu, lalu menutupnya lagi. Setelah itu, dia mengalihkan pandangannya, kemudian bergumam dengan suara pelan:
"...Yah, ini bukan komik... Aku akan bilang kalau kamu janji ga akan tertawa."
"Aku ga akan ketawa."
"Itu karena... kamu mirip sama adikku."
Mendengar jawaban seperti manga ini, Silica tidak bisa menahan dirinya untuk tidak tertawa. Ia menutup mulutnya dengan tangannya, tapi dia tidak bisa menahan tawanya yang meluap-luap.
"Kamu, kamu bilang kamu ga akan ketawa..."
Ekspresi terluka terlihat di wajah si pemuda lalu dia mengendurkan bahunya sambil mulai mendongkol. Membuat tawa Silica semakin keras lagi.
Sword Art Online Vol 02 - 033.jpg
—Dia bukan orang jahat...
Sambil tertawa, Silica memutuskan untuk mempercayai kebaikan pemuda ini. Dia sudah pernah bertekad untuk mati. Kalau untuk menyelamatkan Fina, tidak ada alasan baginya untuk menahan diri.
Silica membungkuk dan berkata:
"Kuharap kita berteman baik. Kamu sudah menolongku, dan bahkan menawarkan untuk melakukan hal seperti ini untukku..."
Dia menatap layar transaksi itu lalu memasukkan semua Coll[18] yang dimilikinya. Ada lebih dari sepuluh equipment yang diberikan pemuda itu, dan semuanya terlihat seperti item langka yang tidak bisa dibeli di toko.
"Yah... mungkin ini terlalu kecil, tapi..."
"Enggak, kamu ga perlu bayar. Ini semua cuma cadangan dan ini juga berhubungan dengan alasan kenapa aku datang ke sini..."
Ketika dia mengucapkan sesuatu yang tidak dapat dimengerti Silica, si pemuda menekan tombol OK tanpa menerima uang sedikitpun.
"Terima kasih. Sungguh.... Oh, aku Silica."
Saat dia mengucapkan namanya, dia setengah berharap pemuda itu terkejut karenanya, tapi nampaknya pemuda itu tidak mengenal namanya. Dia merasa terabaikan untuk sejenak, tetapi kemudian dia ingat bahwa sisinya yang inilah yang membuatnya berakhir seperti ini.
Si pemuda mengangguk kecil lalu menjulurkan tangan kanannya.
"Aku Kirito. Salam kenal."
Mereka berjabatan tangan.
Pemain yang dipanggil Kirito itu mengeluarkan sebuah peta Hutan Pengembaraan dari kantong yang tergantung di ikat pinggangnya. Dia melihat area yang terhubung dengan pintu masuk lalu mulai berjalan. Sambil mengikutinya, Silica membenamkan bulu Fina ke bibirnya dan bergumam dalam pikirannya.
Tunggu, Fina. Sebentar lagi aku akan menghidupkanmu...

Area tempat tinggal di lantai tiga puluh lima diliputi suasana pedesaan dengan bangunannya yang putih-putih serta atapnya yang merah-merah. Desanya sendiri memang tidak begitu besar, namun merupakan area berpetualang utama bagi para pemain level menengah saat ini, jadi ada lumayan banyak orang yang berjalan kesana kemari.
Kota asal Silica adalah Desa Friben, yang terletak di lantai delapan; namun karena ia belum membeli rumah, tinggal di penginapan manapun di lantai berapa saja tidak begitu terasa berbeda baginya. Yang paling penting adalah rasa dari makanan yang disajikan. Silica menyukai cheesecake yang dimasak NPC disini, jadi dia telah tinggal disini sejak dua minggu lalu saat dia mulai berpetualang di Hutan Pengembaraan.
Sewaktu ia memandu Kirito, yang seakan terpesona melihat sekelilingnya, beberapa wajah yang ia kenal memulai percakapan dengannya. Mereka mencoba membujuk Silica untuk bergabung dengan kelompoknya setelah mendengar rumor dia telah keluar dari kelompok lamanya.
"Erm, Yaa... terima kasih atas tawarannya, tapi..."
Dia membungkuk saat menolak tawaran-tawaran itu agar mereka tidak sakit hati. Kemudian dia melirik Kirito, yang berdiri di sampingnya, dan melanjutkan perkataannya:
"...Aku akan sekelompok dengan orang ini untuk beberapa waktu..."
Apa!? Beneran!? Ucap orang-orang yang mengerumuni Silica dengan marah lalu menatap Kirito dengan curiga.
Silica sudah melihat sedikit kemampuan Kirito; tapi ketika kalian memperhatikan swordsman[19] hitam yang cuma berdiri disana, dia tidak terlihat sekuat itu.
Dia tidak memakai equipment mahal satupun—dia tidak pakai armor sama sekali dan hanya memakai sebuah jaket tua yang terlihat usang di atas kaosnya—yang ia miliki hanyalah sebuah pedang satu tangan yang sederhana; dia bahkan tidak punya tameng.
"Hei, kau—"
Pengguna dua pedang berpostur tinggi yang tadi paling gigih mengajak Silica bergabung berjalan ke arah Kirito. Sambil meremehkan Kirito dia membuka mulutnya:
"Kau wajah baru, tapi kau ga boleh memotong antrian. Kami sudah mengincar Silica lumayan lama."
"Yah, aku ga tahu; entah kenapa kita berakhir seperti ini..."
Kirito menggaruk kepalanya dengan muka bermasalah.
Dia setidaknya bisa berdebat sedikit, pikir Silica dengan sedikit kecewa, kemudian ia berkata ke si pengguna dua pedang:
"Erm, itu aku yang minta. Aku minta maaf!"
Silica membungkuk untuk terakhir kalinya lalu melangkah pergi sambil menarik ujung jaket Kirito.
"Aku akan mengirim pesan untuk kalian lain kali~."
Silica berjalan dengan cepat, hendak melepaskan diri dari kerumunan itu, yang belum sepenuhnya menyerah, secepat mungkin. Dia memotong melewati gerbang plasa menuju jalan utama.
Ketika mereka akhirnya tidak dapat para pemain itu lagi, Silica mengambil nafas panjang dan melihat ke arah Kirito.
"...Aku, aku minta maaf. Karena telah membuatmu mengalami semua masalah ini."
"Tidak apa-apa."
Kirito menjawab dengan senyuman kecil seakan dia tidak terganggu sama sekali.
"Silica-san lumayan populer ya."
"Tolong panggil aku Silica saja... Itu bukan karena aku populer; mereka cuma mengajakku bergabung dengan kelompoknya untuk menjadi semacam maskot, sungguh. Tapi... Kupikir aku ini spesial... dan masuk ke hutan sendirian... dan akhirnya..."
Air matanya mengalir alami begitu dia teringat dengan Fina.
"Tenanglah."
Ujar Kirito dengan suara kalem.
"Kita pasti akan menghidupkan Fina lagi, jadi jangan khawatir."
Silica menghapus air matanya dan tersenyum pada Kirito. Cukup aneh memang, rasanya dia mempercayai kata-kata orang ini.
Akhirnya, mereka dapat melihat sebuah bangunan dua lantai di sebelah kanan mereka. Itu penginapan yang sering digunakan Silica: «Weathercock Tavern». Sekarang begitu mereka sudah sampai, Silica sadar bahwa dia telah membawa Kirito ke sini tanpa mengatakan apa-apa.
"Ah, rumahmu dimana, Kirito onii-chan?"
"Oh, di lantai lima puluh.... Tapi terlalu merepotkan untuk pergi ke sana sekarang, jadi kayaknya aku akan bermalam di sini saja."
"Ah, oke!"
Silica kegirangan karena beberapa alasan lalu menepukkan kedua tangannya.
"Cheesecake disini benar-benar enak."
Dia baru saja akan mengajak Kirito masuk ke penginapan dengan menarik jaketnya ketika empat pemain keluar dari toko disebelah mereka berdua. Mereka adalah anggota kelompok yang berburu bersamanya selama dua minggu terakhir. Pemain-pemain pria yang muncul pertama tidak melihat Silica dan langsung menuju ke plasa, tapi pemain wanita yang muncul belakangan menoleh ke belakang dan refleks, mata mereka bertemu.
"...!"
Itu wajah yang paling tidak ingin dilihat Silica saat ini. Pengguna tombak yang menyebabkan pertikaian yang membuat Silica keluar dari kelompoknya. Dia baru saja akan melangkah masuk ke penginapan dengan kepala ditundukkan tapi...
"Oh, bukannya ini Silica?"
Panggil si pengguna tombak, menyebabkan Silica tidak punya pilihan selain berhenti melangkah.
"...Iya."
"Ho~, entah bagaimana kamu berhasil keluar dari hutan itu. Itu melegakan."
Pemain bernama Rosalia itu, dengan rambut merah tuanya yang keriting acak-acakan, berkata dengan senyum miring.
"Tapi kamu sudah telat. Kita sudah membagi-bagikan item-itemnya."
"Sudah kubilang aku ga membutuhkannya! — Aku sedang sibuk sekarang jadi selamat tinggal!"
Silica mencoba mengakhiri percakapan itu, tapi tampaknya pihak yang satu lagi tidak berniat membiarkannya pergi saja.
"Oh? Apa yang terjadi sama kadal itu?"
Silica menggigit bibirnya. Kalian tidak bisa menaruh familiar di inventaris atau menitipkannya ke orang lain. Dengan kata lain, hanya ada satu alasan mengapa familiarnya tidak ada. Rosalia kemungkinan besar juga mengetahuinya, tetapi dia melanjutkannya dengan senyuman kecil.
"Oh, apa mungkin...?"
"Mati.... Tapi!"
Silica membelalak kepada si pengguna tombak.
"Aku akan menghidupkan Fina lagi!"
Rosalia, yang tengah tersenyum dengan sangat puas, melebarkan matanya. Dia bahkan melakukan siulan pelan.
"Ho, jadi kamu mau pergi ke «Bukit Kenangan»? Tapi memangnya kamu bisa sampai ke sana dengan level segitu?"
"Bisa."
Umum Kirito sebelum Silica sempat menjawab. Dia menyembunyikan Silica di belakang jaketnya seakan untuk melindunginya.
"Dungeonnya tidak sesulit itu juga sih."
Rosalia melihat Kirito ke atas dan ke bawah dengan tatapan kasar kemudian mengejeknya:
"Kau satu lagi yang naksir dia? Kau ga kelihatan kuat."
Silica mulai gemetar dengan geram. Dia melihat ke bawah sambil mencoba menahan air matanya.
"Ayo pergi."
Kirito meletakkan sebelah tangannya di bahu Silica, kemudian Silica mulai berjalan ke arah penginapan yang mereka tuju.
"Yah, semoga beruntung."
Suara tawa Rosalia terdengar di belakangnya, tapi dia tidak menengok ke belakang.

Lantai pertama dari «Weathercock Tavern» adalah restoran besar. Kirito mendudukkan Silica di sebuah meja lalu berjalan ke konter depan dimana seorang NPC sedang menunggu. Setelah dia selesai check in, dia mengklik menu di konter kemudian kembali dengan cepat.
Segera setelah Kirito duduk di hadapannya, Silica membuka mulutnya untuk meminta maaf karena dia telah membuat Kirito mengalami situasi yang begitu tidak menyenangkan. Namun Kirito menghentikannya dengan mengangkat tangannya kemudian tersenyum.
"Ayo kita makan dulu."
Seorang pelayan membawa dua mug panas tepat pada waktunya. Kedua cangkir di depan mereka itu dipenuhi cairan merah; sebuah aroma misterium tercium darinya.
"Untuk pembentukan kelompok kita."
Mereka menepukkan mug mereka masing-masing saat Kirito bersulang. Silica lalu meneguk seisap cairan panas itu.
"...Enak..."
Bau dan rasa asam manisnya serupa dengan anggur yang dibolehkan oleh ayahnya untuk dicoba di waktu silam. Tapi walaupun Silica sudah mencoba setiap minuman yang ada di restoran ini selama dua minggu terakhir, dia tidak ingat pernah mencoba yang ini.
"Erm, ini apa...?"
Kirito tersenyum sebelum dia menjawab:
"Kamu bisa bawa minuman botol denganmu ke restoran NPC. Ini item yang kusebut «Ruby Ichor». Kalau kamu minum ini secangkir, ketangkasanmu akan naik satu poin."
"Ini, ini sangat berharga...!"
"Yah, alkohol juga ga akan tambah enak kalau kusimpan di inventarisku juga sih, dan aku ga kenal banyak orang jadi aku ga punya banyak kesempatan untuk meminumnya..."
Kirito mengangkat bahunya dengan konyol. Silica tertawa kemudian meneguk seisap lagi. Cita rasa yang entah bagaimana merindukan pelan-pelan melembutkan hatinya, yang telah mengeras dikarenakan banyaknya hal menyedihkan yang terjadi hari ini.
Setelah selesai minum, Silica menempelkan cangkirnya ke dadanya seakan ia masih menantikan kehangatannya. Lalu dia menurunkan tatapannya ke meja dan berkata pelan:
"...Kenapa... mereka bicaranya sekejam itu sih..."
Ekspresi Kirito berubah serius begitu ia meletakkan cangkirnya dan kemudian membuka mulutnya.
"Apa SAO MMORPG pertamamu?"
"Iya."
"Oh iya — Di game online manapun, ada banyak pemain yang kepribadian berubah begitu mereka memakai karakter mereka sebagai topeng. Ada yang menjadi baik, ada juga yang menjadi jahat… Dulu mereka menyebutnya roleplaying, tapi kupikir di SAO itu berbeda."
Tatapan Kirito menajam.
"Padahal kita lagi dalam situasi sulit... Yah, memang tidak mungkin untuk semua pemain bekerjasama menyelesaikan game ini. Tapi terlalu banyak orang yang senang melihat penderitaan orang lain, mencuri item—dan bahkan mereka yang membunuh sesamanya."
Kirito melihat lurus ke arah Silica. Tampak ada kesedihan yang mendalam di balik kemarahannya.
"Menurutku orang yang melakukan kejahatan disini juga benar-benar sampah di dunia nyata."
Dia hampir mengatakan ini. Tapi kemudian dia sadar bahwa Silica sedikit gemetar ketakutan, jadi dia tersenyum dan meminta maaf:
"Maaf... Aku bahkan tidak dalam posisi untuk membicarakan orang lain. Aku jarang membantu orang lain. Bahkan aku—menyebabkan kematian rekan-rekanku..."
"Kirito onii-chan..."
Silica menyadari kalau swordsman hitam yang duduk di hadapannya memikul bekas luka yang mendalam di dirinya. Dia ingin menghiburnya, namun ia membenci fakta bahwa kata-kata terlalu dangkal untuk menyampaikan apa yang ingin dia ucapkan. Ia malah menggenggam tangan Kirito secara tidak sadar, yang terkepal di atas meja, dengan kedua tangannya.
"Kirito onii-chan adalah orang baik. Onii-chan sudah menyelamatkan aku."
Pertama-tama, Kirito terkejut dan mencoba menarik kembali tangannya, tapi dia segera tenang. Sebuah senyuman lembut tampak di bibirnya.
"...Nampaknya malah aku yang dihibur. Terima kasih, Silica."
Saat itu juga, Silica merasakan sebuah perasaan menyakitkan, seakan jantungnya mengerut. Detak jantungnya bertambah cepat tanpa alasan. Wajahnya terasa panas.
Dia dengan cepat menarik tangannya dan menekankannya di dadanya. Tetapi rasa sakitnya tidak berhenti.
"Kamu ngapain...?"
Begitu Kirito bersandar mencondong ke depan di atas meja, Silica menggelengkan kepalanya dan berhasil tersenyum.
"Bu, bukan apa-apa! Ah, Aku lapar!"

Setelah mereka selesai makan roti dan stew mereka dengan beberapa cheesecake sebagai penutup, sudah jam delapan lewat. Mereka memutuskan untuk cepat tidur sebagai persiapan untuk pergi ke lantai empat puluh tujuh besok. Dua orang itu naik ke lantai dua, dimana ada kamar-kamar yang tak terhitung banyaknya di kedua sisi koridor.
Kamar yang disewa Kirito, secara kebetulan, berada disamping kamar Silica. Mereka saling mengucapkan selamat malam dengan senyuman.
Sesaat setelah memasuki kamarnya, Silica memutuskan sebelum dia berganti pakaian, dia akan melatih beberapa combo untuk membiasakan diri dengan pisau baru yang diberikan Kirito padanya. Dia mencoba untuk berkonsentrasi pada senjatanya, yang sedikit lebih berat dari yang biasa ia pakai, tapi sakit di dadanya menyulitkannya.
Setelah dia entah bagaimana berhasil merangkai lima serangan beruntun, dia membuka layarnya, melepas perlengkapannya, dan kemudian berbaring di kasur dengan pakaian dalamnya. Kemudian dia mengetuk dinding untuk mengeluarkan menu pop-up lalu mematikan lampunya.
Seluruh tubuhnya terasa sangat letih, jadi ia pikir ia bisa tidur dengan mudah. Namun untuk beberapa alasan, dia bahkan merasa kurang mengantuk dibanding biasanya.
Semenjak mereka menjadi sahabat, dia selalu tidur dengan badan Fina yang lembut di lengannya, jadi kasur yang luas itu seperti terasa kosong. Dia berguling dan memutar badannya bolak-balik sebentar sebelum ia menyerah untuk tidur dan kembali duduk. Dia terus memandang ke arah sebelah kirinya—tempat berdirinya dinding yang terhubung dengan kamar Kirito.
Ia ingin mengobrol lebih banyak lagi dengannya.
Dia terkejut kepada dirinya begitu memikirkan ini. Orang ini adalah pemain pria yang baru ia kenal kurang dari sehari. Dia sudah menghindari pemain-pemain pria sampai sekarang, tapi kenapa swordsman yang ia tidak tahu apa-apa tentangnya ini terus muncul di pikirannya?
Dia tidak bisa menjelaskan perasaannya sendiri. Saat dia melirik jam yang berada di bagian bawah penglihatannya, sudah jam sepuluh. Dia sudah tidak bisa mendengar suara langkah kaki pemain-pemain lain dari jendelanya, hanya suara anjing menggonggong di kejauhan.
'Yah, itu ga masuk akal, jadi ayo tidur saja lah.'
Pikir Silica dalam kepalanya. Tetapi untuk beberapa alasan, dia bangkit dari tempat tidurnya dan melangkah pelan ke lantai. Setelah mengatakan kepada dirinya sendiri bahwa ia hanya akan mengetuk pintu lalu melambaikan tangannya, dia membuka layar menu, memilih baju tercantik yang ia miliki, kemudian memakainya.
Dia berjalan beberapa langkah di koridor yang diterangi lilin itu. Lalu, setelah ragu-ragu di depan pintu selama beberapa puluh detik, dia mengetok pintu itu dua kali.

"Huh? Ada masalah?"
"Yaa---"
Silica baru sadar kalau dia belum menyiapkan alasan yang tepat untuk datang lalu kebingungan. 'Aku hanya ingin mengobrol' terdengar terlalu kekanak-kanakan.
"Yah, itu err—ah, aku ingin tahu lebih banyak tentang lantai empat puluh tujuh!"
Untungnya, Kirito tidak mencurigai apa-apa dan langsung mengangguk.
"Oke kalau begitu. Apa kita perlu ke bawah?"
"Enggak usah, yaa—kalau boleh, di kamar onii-chan..."
Ia menjawab tanpa berpikir lalu dengan cepat menambahkan:
"Ka-karena, kita tidak bisa membiarkan orang lain mendengar informasi yang berharga!"
"Erm... yaa... iya sih, kamu benar. Tapi..."
Kirito menggaruk kepalanya dengan sedikit ekspresi tidak nyaman, kemudian...
"Yah, kurasa tidak apa-apa."
Gumamnya, lalu dia membuka pintunya dengan sopan lalu mundur selangkah.
Tentu saja, kamarnya Kirito sama dengan kamarnya sendiri: sebuah kasur di sebelah kiri, ditambah sebuah meja dan kursi sedikit lebih jauh lagi. Itulah semua perabotan yang ada disitu.
Kirito menawarkan kursinya sebelum ia duduk di kasur dan membuka sebuah layar. Dia memanipulasinya dengan cepat dan mengeluarkan sebuah kotak kecil.
Kotak yang telah diletakkan di meja itu memiliki sebuah bola kristal kecil di dalamnya. Bola kristal itu bersinar di bawah cahaya lentera.
"Indahnya... ini apa?"
"Ini item bernama «Mirage Sphere»."
Saat Kirito mengklik bola kristal tersebut, muncul sebuah layar menu. Dia dengan cepat memanipulasinya dan memencet tombol OK.
Segera setelahnya, bola kristal itu mulai memancarkan sebuah cahaya biru muda, lalu muncullah sebuah hologram besar berbentuk bola. Gambarnya tampak seperti keseluruhan sebuah lantai di Aincrad. Kristal itu menampilkan desa-desa dan setiap pohon dengan sangat detil, dan sama sekali berbeda dengan peta sederhana yang bisa ditemukan di menu sistem.
"Uwaa...!"
Silica terpaku memandang peta setengah transparan itu. Rasanya kristal itu dapat menunjukkan orang-orang berjalan kesana kemari jika ia terus menatapnya.
"Ini area tempat tinggalnya, dan ini Bukit Kenangan. Kamu harus melewati jalan ini... dan ada sejumlah monster kuat di sekitar sini..."
Kirito menunjuk ke sini dan ke sana seraya menjelaskan geografi lantai empat puluh tujuh tanpa berhenti. Silica merasa hangat hanya dengan mendengarkan suara yang kalem itu.
"Dan setelah kamu melewati jembatan ini kamu bisa melihat bu..."
Tiba-tiba Kirito berhenti bicara.
"...?"
"Shh..."
Saat dia mengangkat kepalanya, dia melihat expresi Kirito was hard dan dia sedang menaruh sebuah jari di bibirnya. Dia membelalak ke arah pintu dengan tatapan tajam.
Kirito langsung beraksi. Dia melompat dari kasur dengan kecepatan cahaya dan membuka pintunya.
"Siapa disitu...!?"
Silica dapat mendengar suara langkah orang lari. Dia berlari menyusul dan melihat keluar dari bawah badan Kirito, dimana dia melihat bayangan seseorang sedang berlari menuruni tangga.
"I-itu tadi apa!!?"
"...Kupikir dia tadi menguping."
"Apa...? Tapi kita ga bisa mendengar apa-apa dari balik tembok kan?"
"Bisa kalau level mengupingnya cukup tinggi. Walaupun... tidak banyak... orang yang melatih skill ini..."
Kirito menutup pintunya dan berjalan kembali ke kamarnya. Dia duduk di kasur dengan ekspresi merenung di wajahnya. Silica duduk di sebelahnya and membelitkan kedua tangannya ke sekeliling badannya. Dia diliputi oleh rasa takut yang tidak bisa ia jelaskan.
"Kenapa orang itu menguping...?"
"Kita akan tahu sebentar lagi, mungkin. Aku punya pesan untuk dikirim, bisa kamu menunggu sebentar?"
Kirito tersenyum kecil sebelum dia menutup map kristal itu dan membuka sebuah layar. Dia mulai menggerakkan jari-jarinya di atas sebuah keyboard holografik.
Silica menggelut di kasur Kirito. Sebuah kenangan lama dari dunia nyata kembali padanya. Ayahnya adalah seorang reporter. Dia selalu berada di depan sebuah PC lama, mengetikkan sesuatu dengan ekspresi serius. Silica suka memperhatikan punggung ayahnya saat dia melakukan itu.
Silica tidak merasa takut lagi. Saat dia mengamati wajah Kirito dari belakang, rasanya seakan dia diliputi kehangatan yang telah dilupakannya begitu lama. Sebelum ia mengetahuinya, matanya sudah terpejam dengan sendirinya.


Silica terbangun mendengar bunyi bising yang berdering di telinganya. Itu adalah alarm pagi yang hanya bisa didengar olehnya. Waktu yang diaturnya adalah jam tujuh pagi.
Dia membuka selimutnya lalu duduk. Biasanya ia sulit untuk bangun pagi-pagi, namun hari ini dia bisa membuka matanya dengan perasaan baik. Kepalanya terasa segar, seakan semuanya telah tercuci bersih oleh tidurnya yang lelap.
Setelah meregangkan badannya, Silica baru saja akan turun dari tempat tidur ketika ia membeku.
Ada seseorang yang sedang tidur terlentang; cahaya matahari pagi yang melalui jendela menyinarinya. Persis saat Silica menarik nafas untuk berteriak, disangkanya orang itu seorang penyusup, dia ingat dimana ia jatuh tertidur tadi malam.
---Aku, di kamar Kirito onii-chan...
Segera setelah dia menyadari fakta tersebut, wajahnya memanas seperti telah terkena serangan nafas api. Karena di SAO emosi ditampilkan agak berlebihan, mungkin uap memang benar-benar keluar dari wajahnya saat ini. Tampaknya Kirito membiarkan Silica tidur di kasur sedangkan ia tidur di lantai. Silica mengerang sambil menutupi mukanya karena rasa malu dan sesal.
Setelah berhasil menenangkan dirinya selama beberapa lusin detik, Silica diam-diam turun dari tempat tidur dan berdiri. Kemudian dia berjalan ke arah Kirito dengan langkah kaki tak bersuara lalu menatap wajahnya.
Wajah tidur sang swordsman hitam itu terlihat begitu tidak berdosa hingga Silica tidak bisa menahan dirinya untuk tidak tersenyum. Silica kira dia beberapa tahun lebih tua darinya karena tatapannya yang tajam. Namun yang mengejutkan, ketika Silica melihatnya seperti sekarang ini, dia tidak tampak seberbeda itu dengannya.
Menyenangkan bagi Silica untuk mengamati wajah tidurnya; tapi ia tidak bisa begini terus, jadi dia dengan lembut menggoyangkan bahunya lalu berkata padanya.
"Kirito onii-chan, sudah pagi~."
Kirito membuka matanya lebar-lebar lalu berkedip beberapa kali begitu dia menatap wajah Silica dengan tatapan kosong selama beberapa saat. Kemudian ekspresinya berubah menjadi malu dengan cepat.
"Ah... Ma-maaf!"
Dia tiba-tiba menundukkan kepalanya.
"Aku ingin membangunkan onii-chan tapi onii-chan tidurnya nyenyak banget... dan aku ga bisa membuka pintu ke kamar onii-chan, jadi..."
Kamar yang disewa pemain diatur oleh sistem agar tidak bisa ditembus, jadi tidak mungkin kalian bisa masuk ke dalamnya kecuali kalian adalah teman pemain tersebut. Silica dengan cepat mengibaskan tangannya dan bilang:
"Enggak, enggak, aku yang harusnya minta maaf! Sudah mengambil tempat tidurnya onii-chan... "
"Enggak, gapapa kok. Kita ga akan nyeri otot bagaimanapun kita tidur ini."
Setelah berdiri, Kirito merenggangkan lehernya, yang membuat bunyi retak-retak, kontradiksi dengan kata-kata yang baru ia ucapkan. Dia kemudian mengangkat tangannya dan merenggangkannya. Dia memandang Silica seakan dia baru saja terpikir sesuatu sebelum membuka mulutnya:
"...Omong-omong, selamat pagi."
"Se-selamat pagi."
Keduanya melihat satu sama lain dan tersenyum.

Hari sudah terang ketika mereka melangkah keluar setelah menyantap makanan sebagai persiapan menjelajahi «Bukit Kenangan» di lantai empat puluh tujuh. Pemain-pemain yang bersiap memulai harinya dan para pemain yang baru kembali dari petualangan malam mereka mempunyai ekspresi yang kontras.
Setelah mengisi persediaan ramuan mereka di sebuah toko di sebelah penginapan mereka, keduanya berjalan menuju gerbang plasa. Untungnya, mereka berhasil mencapai gerbang teleport tanpa harus bertemu dengan orang-orang yang ingin merekrut Silica ke dalam kelompoknya seperti kemarin. Persis sebelum dia akan mulai berlari ke area teleport yang berwarna biru berkilauan, Silica berhenti.
"Ah... aku ga tahu nama desa di lantai empat puluh tujuh..."
Dia baru akan memeriksa petanya ketika Kirito menawarkan tangan kanannya.
"Tidak apa-apa. Aku akan mengatur tempatnya."
Silica merasa berterima kasih seraya dia menggenggam tangan Kirito.
"Teleport! Floria!"
Segera setelah Kirito berkata, sebuah cahaya membutakan meliputi mereka berdua.
Setelah cahaya tersebut pudar, diikuti terasanya sebuah perasaan transportasi, warna-warna yang tak terhitung banyaknya meledak di pengelihatan Silica.
"Uwa..."
Tanpa sadar dia bersorak.
Gerbang plasa lantai empat puluh tujuh dibanjiri oleh bunga-bunga. Dua jalan kecil memotong plasa itu dengan bentuk palang. Disamping itu, sisa tempat yang ada seluruhnya ditempati oleh petak-petak bunga, setiap petak bunga tersebut dikelilingi oleh bata-bata merah dan dipenuhi dengan bunga yang tidak diketahui Silica.
"Indahnya..."
"Lantai ini juga disebut «Taman Bunga», karena bukan hanya desanya tapi juga seluruh lantainya dilimpahi bunga-bunga. Kalau kita punya waktu, kita juga bisa pergi ke «Hutan Bunga Raksasa» di utara..."
"Aku ingin bisa datang ke sana lain waktu."
Silica tersenyum pada Kirito sebelum dia membungkuk di depan sebuah petak bunga. Dia mendekatkan wajahnya ke sebuah bunga kebiru-biruan yang serupa dengan cornflower[20] lalu menghirup aromanya.
Bunga tersebut dibuat dengan detil yang mengejutkan: mulai dari vena-vena bunganya, kelima kelopaknya, benang sarinya yang putih, sampai tangkainya yang hijau.
Tentu saja tidak semua benda di Aincrad, termasuk taman bunga ini, dan seluruh tanaman serta bangunan lain, digambarkan sedetil tadi setiap saat. Kalau mereka membuatnya seperti itu, maka mainframe SAO sekalipun, setinggi apapun performanya, akan kekurangan sumber daya untuk sistemnya.
Untuk menghindari hal tersebut sembari tetap memberikan para pemain lingkungan yang sedetil dan semirip mungkin dengan kenyataan, SAO menggunakan «Sistem Pemfokusan Digital». Sistem itu merupakan sistem yang menampilkan detil yang lebih halus dari sebuah objek hanya saat seorang pemain menunjukkan ketertarikannya dan fokus dengan objek itu.
Setelah Silica mendengar tentang sistem ini, dia menjadi takut kalau ketertarikannya pada suatu benda akan membebani sistem SAO; tetapi dia tidak bisa menahan dirinya sendiri saat ini dan tetap memandangi bunga yang bermacam-macam itu.
Ketika dia akhirnya berhasil menghentikan dirinya berjalan tanpa sadar sambil menikmati aroma harum di sekitarnya, Silica memandang sekelilingnya.
Kebanyakan orang yang berada disini adalah pasangan pria dan wanita. Semuanya saling bercakap-cakap dengan senang, entah sambil berpegangan tangan atau sambil bergandengan lengan. Sepertinya tempat ini sudah menjadi tempat-tempat semacam itu. Silica memandang Kirito, yang sedang melamun disampingnya.
---Apa kita juga kelihatan seperti itu...?
Setelah memikirkan hal ini, Silica berkata dengan keras untuk menutupi fakta kalau mukanya memerah:
"Ayo-ayo kita cepat pergi ke luar!"
"Hah? Ah, iya."
Kirito terpaku berkedap-kedip untuk beberapa detik sebelum dia mengangguk dan mulai berjalan disamping Silica.
Mereka meninggalkan gerbang plasa hanya untuk menemukan bahwa jalan utama desa tersebut pun diselimuti oleh bunga-bunga. Seraya mereka berdua berjalan beriringan, Silica ingat saat dia pertama kali bertemu Kirito. Dia tak percaya baru satu hari terlewati sejak saat itu. Swordsman itu sudah menjadi sosok yang penting di hatinya.
Silica melirik ke arahnya dan bertanya-tanya bagaimana perasaannya, namun Kirito masih diliputi perasaan misterius dan sulit untuk menebak apa yang ada di pikirannya. Silica ragu-ragu untuk beberapa saat sebelum dia mempersiapkan diri dan membuka mulutnya:
"Ermm... Kirito onii-chan. Boleh aku bertanya tentang adik perempuanmu..."
"Ke-kenapa tiba-tiba?"
"Kirito onii-chan bilang aku mengingatkanmu pada dia. Jadi, aku penasaran saja..."
Membicarakan dunia nyata adalah salah satu hal yang paling tabu di Aincrad. Ada banyak alasan, tapi yang terbesar adalah jika gagasan bahwa 'dunia ini virtual dan karenanya adalah dunia palsu' mengakar di dalam pikiran para pemain, maka mereka tidak akan bisa terima kalau «kematian» di SAO sebagai kenyataan.
Tapi Silica ingin bertanya tentang adik perempuan Kirito, yang kata Kirito mirip dengannya. Dia ingin tahu apakah Kirito menginginkan sesuatu darinya sebagai seorang adik perempuan.
"...Kita...ga sedekat itu kok..."
Kirito mulai bicara.
"Aku pernah bilang dia itu adik perempuanku, tapi sebenarnya dia itu sepupuku. Karena suatu keadaan, dia tumbuh besar bersama dengan keluargaku sejak lahir. Dia ga tahu ini sih. Yah, mungkin karena ini... tapi aku terus menjaga jarak darinya tanpa maksud yang jelas. Aku bahkan menghindari untuk bertemu dengannya di rumah."
Kirito mendesah kecil.
"...Ditambah lagi, kita punya kakek yang keras. Dia memaksaku ikut dojo kendo waktu aku berumur delapan tahun, tapi aku tidak bisa benar-benar berminat melakukannya lalu berhenti setelah dua tahun. Kakekku memukulku lumayan keras... tapi saat dia melakukan itu, adikku mulai menangis dan melindungiku dengan bilang kalau dia bahkan akan melakukan bagianku supaya kakekku berhenti. Setelah itu, aku mulai main komputer dan tenggelam di dalamnya, tapi adikku benar-benar mengabdikan dirinya buat kendo dan bahkan berhasil sampai cukup jauh di kejuaraan nasional sebelum kakekku meninggal. Itu sudah cukup untuk menyenangkan bahkan dia sekalipun... Tapi aku selalu merasa bersalah; aku selalu ingin tahu kalau adikku benar-benar ingin melakukannya dan apa dia benci padaku. Karena itulah aku terus menghindarinya... dan akhirnya kita jadi seperti ini."
Kirito berhenti bicara dan melirik wajah Silica.
"Jadi mungkin aku menyelamatkanmu untuk memuaskan diriku sendiri, untuk menebus masa laluku... Maaf."
Silica masih anak-anak jadi dia tidak bisa mengerti benar semua perkataan Kirito. Namun karena beberapa alasan, dia merasa seakan dia dapat mengerti adik perempuan Kirito itu.
"...Adiknya Onii-chan... dia ga benci Onii-chan. Kalau dia tidak menyukainya, maka dia ga mungkin bisa sebaik itu. Kemungkinan besar dia sangat suka kendo."
Selagi Silica berucap, memilih kata-katanya dengan hati-hati, Kirito tersenyum.
"Kayaknya aku terus yang dihibur... Apa benar seperti itu? ...Baguslah kalau benar seperti itu."
Silica merasa sesuatu yang hangat menjalar di hatinya. Dia senang Kirito telah terbuka padanya.
Keduanya segera tiba di gerbang masuk utara desa itu. Bunga putih yang tak terhitung tumbuh dari tumbuhan merambat yang melilit busur logam langsing berwarna perak. Jalan utama desa melewatinya dan terus merentang hingga menjadi jalan besar yang dikelilingi bukit-bukit hijau sebelum menghilang dalam kabut.
"Yah... petualangan kita akhirnya dimulai."
"Iya."
Silica menjauh dari lengan Kirito, memantapkan ekspresinya, lalu mengangguk.
"Dengan level dan equipment kamu, monster-monster di sekitar sini harusnya tidak terlalu susah untuk dikalahkan. Tapi…”
Seraya berkata, Kirito mengobrak-abrik kantong yang bergantung di ikat pinggangnya, mengeluarkan sebuah kristal berwarna biru langit, dan kemudian meletakkannya di tangan Silica. Benda itu adalah Kristal Teleport.
"Kita ga tahu apa yang akan terjadi di lapangan nanti. Jadi camkan ini dalam pikiranmu. Kalau terjadi sesuatu yang diluar perkiraan dan aku menyuruhmu untuk kabur, maka gunakan kristal itu untuk pergi. Desa manapun ga masalah. Kamu ga usah mengkhawatirkanku."
"Ta-tapi..."
"Janjilah padaku. Aku... pernah menghancurkan satu kelompok. Aku ga mau mengulangi kesalahan yang sama lagi."
Ekspresi Kirito begitu serius hingga Silica tak bisa berbuat apa-apa lagi selain mengangguk. Setelah Kirito menerima jawabannya dia tersenyum lega.
"Kalau begitu, ayo berangkat!"
"Oke!"
Silica memastikan pisaunya sudah melengkapi sisinya lalu memantapkan keyakinan dalam pikirannya; setidaknya dia tidak akan kebingungan seperti kemarin dan dia akan bertarung sebaik-baiknya.
Tetapi---
"Kya-aaaaaa!? Itu apa--!? Itu, itu kelihatan mengerikan-----!!"
Mereka bertemu monster pertama hanya dalam beberapa menit setelah mereka mulai berjalan ke arah utara di medan perburuan lantai empat puluh tujuh.
"U-uwaa!! Pergi sana----!"
Makhluk yang muncul dan berjalan menembus semak-semak memiliki bentuk yang tak pernah terbayangkan oleh Silica. «Sebuah bunga berjalan» mungkin deskripsi yang paling tepat untuk menggambarkannya. Dengan batang hijau tua yang setebal lengan manusia dan berdiri dengan akar-akarnya yang terbagi di beberapa tempat. Batang atau badannya menopang sebuah bunga kuning besar yang serupa dengan bunga matahari. Mulutnya terbuka, gigi-giginya menyembur keluar, mengungkapkan kilasan-kilasan merah dari dalamnya.
Tanaman itu memiliki dua cabang yang menjalar dari bagian tengah batangnya, yang mengingatkan orang pada lengan yang dimiliki binatang. Tampaknya, tanaman itu menggunakan lengan-lengan tersebut beserta mulutnya untuk menyerang. Tanaman pemakan orang itu berlari menuju Silica dengan tersenyum sambil mengayunkan lengan-lengannya yang mirip tentakel. Makhluk yang terlihat seperti karikatur yang sangat aneh ini membuat Silica merasa jijik.
"Kubilang pergi---!"
Silica mengayunkan pisaunya dengan liar dengan matanya hampir tertutup. Kirito, yang berdiri di sebelahnya, berkata dengan suara bingung:
"Te-tenang saja. Monster itu sangat lemah. Kalau kamu mengincar bagian putih tepat di bawah bunganya, maka kamu dengan mudah bisa..."
"Ta-tapi itu kelihatan mengerikan--!"
"Kalau makhluk itu saja terlihat mengerikan maka perjalanan ini akan susah. Ada juga monster yang punya banyak bunga, ada yang terlihat seperti tumbuhan karnivora, dan bahkan ada yang punya banyak tentakel lengket...
"Kya----!!"
Sambil berteriak saat Kirito berbicara, Silica mengaktifkan sebuah skill pedang; tentu saja, skill itu hanya memotong udara kosong. Selama jeda yang singkat setelahnya, dua tentakel membelit kedua kaki Silica lalu mengangkatnya dengan kekuatan yang mengejutkan.
"Uwah!?"
Sword Art Online Vol 02 - 062.jpg
Silica mendapati dirinya tergantung terbalik beserta penglihatannya sementara roknya, setia dengan gravitasi virtual, merosot ke bawah.
"Uaaa!?"
Dia dengan cepat menahan ujung roknya dan mencoba memotong cabang yang menjalar itu. Namun karena posisinya yang memalukan, upayanya itu tidak begitu berhasil. Silica berteriak dengan wajah merah:
"Ki-Kirito onii-chan, tolong! Jangan lihat saja dan tolong aku!!"
"I-Itu sedikit sulit."
Dengan tangan kirinya menutupi kedua matanya, Kirito menjawab dengan ekspresi tidak nyaman sementara bunga raksasa itu terus mengayunkan Silica kesana kemari.
"Berhenti!"
Silica tidak punya pilihan selain melepaskan roknya, menggenggam cabang menjalar itu, dan memotongnya. Bagian belakang leher bunga tersebut masuk ke dalam jangkauannya begitu dia jatuh lalu dia menggunakan sebuah skill pedang. Kali ini skill itu mengenai sasarannya, dan seraya kepalanya jatuh, seluruh badannya meledak lalu lenyap. Silica, yang mendarat dengan halus diantara hujan debris[21] poligon, langsung bertanya pada Kirito segera setelah dia berbalik.
"...Tadi lihat ya?"
Swordsman hitam itu memandang Silica melalui celah-celah diantara jari-jarinya dan menjawab:
"...Enggak, aku ga lihat."

Mereka membutuhkan lima pertarungan lagi sampai terbiasa dengan monster-monster disini sebelum mempercepat ritme mereka; walau Silica hampir pingsan saat sebuah monster yang mirip anemon laut mencengkramnya dengan tentakel yang lengket.
Kirito tidak berpartisipasi banyak dalam pertarungan dan kebanyakan dia hanya membantu Silica, sekali-sekali menahan sekarang saat Silica dalam bahaya. Experience kelompok terbagi sesuai dengan jumlah damage yang diberikan setiap anggota kelompok ke monster. Karena Silica mengalahkan monster-monster berlevel tinggi, dia memperoleh poin experience beberapa kali lebih cepat dari biasanya dan dia pun lekas naik level.
Selagi mereka terus mengikuti jalan batu bata merah yang tak berujung, muncul sebuah jembatan yang melewati sungai kecil. Setelahnya terlihat sebuah bukit besar, dan jalan tersebut tampak menuju ke puncaknya.
"Itulah «Bukit Kenangan»."
"Sepertinya tidak ada persimpangan jalan."
"Iya. Kita cuma harus terus naik, jadi ga perlu khawatir akan tersesat. Tapi katanya ada banyak monster. Kita berhati-hati saja."
"Oke!"
Sebentar, sebentar lagi dia bisa menghidupkan Fina. Begitu Silica memikirkan ini, langkah kakinya refleks makin cepat.
Saat mereka mulai berjalan melalui jalan menanjak yang penuh dengan bunga-bunga yang sedang mekar, mereka dihadang lagi oleh monster-monster seperti yang telah diprediksi. Monster-monster berjenis tumbuhan itu juga jauh lebih besar, tetapi pisau hitam Silica ternyata jauh lebih kuat dari yang ia kira, membuatnya bisa mengalahkan kebanyakan dari mereka hanya dengan sebuah combo.
Tapi kemampuan Kirito bahkan lebih mengejutkan lagi.
Silica telah menduga kalau dia adalah swordsman yang levelnya lumayan tinggi setelah menyaksikannya mengalahkan dua Kera Mabuk dengan sebuah ayunan pedang. Namun setelah naik dua belas lantai sekalipun, dia masih tidak kehilangan ketenangannya sedikitpun. Ketika sejumlah besar monster muncul, dia menolong Silica dengan mengalahkan mereka semua kecuali satu.
Seraya mereka melanjutkan perjalanan, Silica tidak dapat berhenti bertanya-tanya apa yang dilakukan pemain berlevel setinggi itu di lantai tiga puluh lima.
Berdasarkan perkataannya, sepertinya ia punya sesuatu yang harus ia lakukan di «Hutan Pengembaraan». Namun Silica tidak pernah mendengar kalau ada monster atau item langka disitu.
Akan kutanya dia setelah petualangan ini selesai--- pikir Silica selagi dia mengayunkan pisaunya; selagi dia melakukan ini pun, jalan yang sempit itu perlahan-lahan makin curam. Merekapun terus menembus hutan yang lebat itu sambil mengalahkan monster-monster yang makin lama semakin agresif---
Mereka telah sampai di puncak bukit.
"Uwa--!"
Silica menahan diri sambil dia berlari beberapa langkah ke depan dan berseru.
Taman langit--- tempat ini memang benar-benar sesuai dengan namanya. Ruang terbuka yang dikelilingi hutan lebat itu penuh dengan bunga-bunga yang saling berdesakan satu sama lain selagi mereka mekar.
"Akhirnya kita sampai."
Ujar Kirito seraya dia berjalan ke arah Silica dan menyarungkan pedangnya.
"Bunganya... disini...?"
"Iya. Ada batu di tengah-tengah dan diatasnya..."
Silica sudah berlari bahkan sebelum Kirito selesai bicara. Dia memang bisa melihat sebuah batu putih yang bersinar di tengah-tengah petak-petak bunga itu. Dia berlari kesana, mengambil nafas pendek, dan kemudian dengan hati-hati memeriksa bagian atas batu yang setinggi dadanya itu.
"Huh......?"
Tetapi tidak ada apa-apa disana. Hanya ada sedikit rumput di tengah-tengah lekukan batu tersebut; tidak ada sesuatu apapun yang dapat disebut sebagai bunga.
"Bunganya... Bunganya ga ada, Kirito onii-chan!"
Dia berteriak pada Kirito, yang telah berlari ke sisinya. Air mata mulai bermunculan di matanya.
"Ga mungkin... ---Ah, lihat."
Silica mengikuti tatapan Kirito dan memandang lagi batu tersebut. Kemudian---
"Ah..."
Sebuah tunas kecil tumbuh di tengah-tengah rumput yang lembut itu. Begitu Silica melihatnya, sistem fokus menjadi aktif dan tanaman muda itu pun terlihat lebih detil. Dua daun putih terbuka bagai sebuah kerang dan sebuah batang tumbuh darinya dengan cepat.
Batang itu meninggi dalam sekejap, persis seperti yang ia lihat saat pelajaran sains bertahun-tahun lalu, kemudian sebuah kuncup kecil muncul di ujungnya. Kuncup kecil berbentuk tetesan hujan itu memancarkan cahaya berwarna putih mutiara.
Selagi Kirito dan Silica mengamatinya sambil menahan nafas, ujung kuncup tersebut mulai terbuka; kemudian--- dengan bunyi mirip gemerincing lonceng, kuncup itupun terbuka. Sebuah bintik cahaya menari-nari di udara.
Keduanya terpaku mengamati tumbuhnya sebuah bunga putih tanpa bergerak sedikitpun. Tujuh kelopak bunga menggapai keluar seperti sinar bintang, dan dari tengah-tengahnya terpancar kilauan cahaya, bercampur dengan cahaya langit.
Silica memandang Kirito, ia merasa kalau seharusnya ia tidak menyentuh bunga ini. Kirito tersenyum lembut lalu mengangguk.
Silica membalas dengan anggukan dan kemudian menyentuh bunga itu dengan tangan kanannya. Saat ia menyentuhnya, batang yang setipis benang sutra itu hancur seakan seperti terbuat dari es, dan hanya tinggal bunganya yang tertinggal di tangan Silica. Dia kemudian menyentuh bunga itu dengan halus seraya bernafas lembut. Layar namanya muncul tanpa suara. «Bunga Pneuma»---
"Sekarang... kita bisa menghidupkan Fina lagi..."
"Ya. Kamu cuma harus meneteskan tetesan air dalam bunga itu ke hati Fina. Tapi ada banyak monster yang kuat disini, jadi lebih baik melakukannya setelah kita kembali ke desa. Lebih baik kita sabar sedikit dan lekas pulang sekarang.
"Oke!"
Silica mengangguk lalu membuka layar utamanya sebelum menaruh bunganya disana. Dia memastikan bunga itu berada di inventaris item sebelum menutup layar tersebut.
Sesungguhnya, dia ingin menggunakan sebuah kristal teleport untuk langsung kembali ke desa, namun Silica menahan dirinya dan mulai berjalan. Sudah menjadi aturan tidak tertulis untuk tidak pernah menggunakan kristal yang mahal itu kecuali keadaannya benar-benar berbahaya.
Untungnya, mereka tidak berjumpa dengan banyak monster saat perjalanan pulang. Tidak lama kemudian mereka sampai di tepi sungai setelah turun dengan tempo yang cepat.
Sekarang aku bisa bertemu Fina paling lama sejam lagi---
Silica memeluk dadanya, yang terasa seperti mau meledak, dan persis sebelum menyebrangi jembatan---
Tiba-tiba Kirito memegang bahunya. Dia menoleh ke belakang, jantungnya berdetak kencang, dan melihat Kirito membelalak ke arah kumpulan pepohonan yang tebal di seberang jembatan dengan ekspresi yang menakutkan. Kemudian dia membuka mulutnya lalu berkata dengan suara yang rendah dan menegangkan:
"---Kalian yang bersembunyi untuk menyergap kami, keluar sekarang juga."
"Apa...!?"
Silica segera melihat tepi lain sungai tersebut, namun disana tidak ada siapa-siapa. Setelah beberapa detik yang menegangkan, dedaunan mulai bergerak dengan suara gemerisik. Muncul sebuah kursor yang mewakili pemain. Warnanya hijau, jadi dia bukan kriminal.
Anehnya --- orang yang muncul di seberang jembatan pendek itu adalah seseorang yang dikenal Silica.
Rambut merah api, dengan bibir berwarna sama; petarung bertombak itu memegang sebuah tombak berbentuk palang yang ramping dan memakai armor berwarna hitam yang bersinar seperti lapisan email.
"Ro-Rosalia-san...!? Kenapa kamu ada di tempat seperti..."
Rosalia tersenyum miring dan mengabaikan pertanyaan Silica yang matanya terbuka lebar dengan dipenuhi rasa terkejut.
"Ga nyangka ternyata kau bisa tahu persembunyianku; sepertinya skill scanmu lumayan tinggi, swordsman. Apa aku sedikit meremehkanmu?"
Lalu dia berpaling ke arah Silica:
"Sepertinya kamu dengan beruntung berhasil dapetin «Bunga Pneuma». Selamat, Silica."
Silica, yang tidak dapat memahami tujuan Rosalia yang sebenarnya, mundur beberapa langkah ke belakang. Dia merasakan perasaan buruk yang tidak dapat dijelaskan tentang ini.
Rosalia tidak mengkhianati ekspektasinya dan mulai berbicara sedetik kemudian:
"Serahkan bunga itu sekarang juga."
Silica tidak tahu harus berkata apa.
"...!? Apa... kamu bilang apa...?"
Kemudian, Kirito, yang dari tadi diam saja, melangkah maju dan membuka mulutnya:
"Aku ga bisa membiarkanmu melakukan itu, Rosalia-san. Enggak--- harusnya aku memanggilmu pemimpin guild oranye «Titan's Hand»."
Alis Rosalia mengerut naik dan senyum menghilang dari wajahnya.
Dalam SAO, pemain-pemain yang melakukan tindakan yang dianggap kriminal, seperti mencuri, menyakiti pemain lain, atau membunuh mereka, warna kursornya berubah dari hijau menjadi oranye. Karenanya, orang-orang menyebut para kriminal individu sebagai pemain oranye dan guild yang terdiri dari mereka sebagai guild oranye. Silica tahu tentang ini, tetapi dia belum pernah bertemu mereka sebelumnya.
Tetapi kursor HP Rosalia, yang bisa dia lihat tepat di depan matanya, berwarna hijau bagaimanapun cara dia melihatnya. Silica menengadah ke wajah Kirito, yang berdiri disampingnya, dan bertanya dengan suara kering:
"Hei... tapi... lihatlah... barnya Rosalia-san, warnanya hijau..."
"Di guild oranye sekalipun, seringkali tidak semua anggotanya oranye. Anggota-anggota yang hijau mencari mangsa dan bersembunyi diantara kelompok mereka sebelum memancing mereka ke tempat penyergapan. Orang yang semalam menguping pembicaraan kita pasti anggota kelompoknya juga."
"A-apa..."
Silica memandang Rosalia dengan rasa terkejut dan benci.
"Ka---kalau gitu, alasan dia bergabung dengan kelompokku selama dua minggu terakhir adalah..."
Rosalia sekali lagi tersenyum berbisa dan berkata:
"Iya~ Aku mengecek sekuat apa kelompok itu, dan disaat bersamaan menunggu mereka gemuk dengan uang yang mereka dapat dari berpetualang. Sebenarnya, aku akan mengurus mereka hari ini."
Dia menjilat lidahnya sambil tetap menatap Silica.
"Aku sedang keheranan kenapa orang yang paling ingin kuburu tiba-tiba pergi, terus aku dengar kamu ingin dapetin item langka. «Bunga Pneuma» sekarang ini lumayan mahal. Ngumpulin informasi itu ternyata memang penting~"
Kemudian dia berhenti bicara sesaat, memandang Kirito, lalu mengangkat bahunya.
"Tapi swordsman, kau bermain dengan bocah ini walaupun kau tahu itu? Kau ini bodoh ya? Atau kau benar-benar naksir dia?"
Muka Silica memerah dengan amarah mendengar penghinaan Rosalia. Tangannya bergerak untuk mengambil pisaunya. Namun Kirito memegang pundaknya.
"Enggak, bukan hal semacam itu."
Ujar Kirito, suaranya dingin.
"Aku juga sedang mencarimu, Rosalia-san."
"---Apa maksudmu?"
"Kau yang menyerang guild «Silver Flag» sepuluh hari lalu di lantai tiga puluh delapan, kan? Dimana empat aggotanya tewas dan cuma ketuanya yang selamat."
"Ah~, para gelandangan itu?"
Rosalia bahkan tidak bergeming saat dia mengangguk.
"Ketuanya itu... dia mencari seseorang untuk membalaskan dendam timnya di gerbang plasa di garis depan, menangis dari pagi hingga malam."
Rasa dingin yang menakutkan terasa dari ucapan Kirito. Rasanya seperti pedang es yang telah diasah untuk memotong apapun yang mendekat.
"Tapi waktu aku menerima permohonannya, dia tidak memintaku untuk membunuhmu. Ia hanya minta kepadaku untuk menjebloskan kalian semua ke penjara di Kastil Besi Hitam --- bisakah kau mengerti perasaannya?"
"Tidak sama sekali."
Rosalia menjawab seperti dia tidak peduli sama sekali.
"Apa? Kenapa kau serius banget? Kau bodoh ya? Bagaimanapun ga ada bukti kalau orang itu mati di kehidupan nyata kalau kau bunuh mereka disini. Lagipula, ini ga akan jadi perbuatan kriminal saat kita kembali ke dunia nyata. Kita bahkan ga tahu apa kita bisa kembali, tapi disini kau ngomongin keadilan dan aturan; itu bahkan ga lucu. Aku paling benci orang sepertimu --- orang yang bawa-bawa logika aneh saat mereka datang ke dunia ini."
Mata Rosalia makin dipenuhi rasa marah.
"Jadi, kau ingin mengatakan padaku kalau kau menganggap serius ucapan seseorang yang bahkan ga bisa mati dengan benar dan mencari kami? Kau benar-benar ga punya kerjaan ya. Yah, kuakui aku termakan umpanmu. Tapi... apa kau benar-benar berpikir kalau kau bisa berbuat sesuatu hanya dengan dua orang...?"
Sebuah senyum kejam muncul di mukanya lalu Rosalia melambaikan tangannya dua kali di udara.
Pada saat itu juga, pepohonan di sisi lain tepi sungai itu bergoncang kasar, dan sekelompok orang muncul dari baliknya. Kursor-kursor memasuki penglihatan Silica satu demi satu. Kebanyakan oranye. Jumlahnya mereka mencapai sepuluh orang. Kalau saja mereka menyebrangi jembatan itu tanpa sadar bahwa mereka akan disergap, maka mereka sudah terkepung sekarang. Ada seorang hijau lagi diantara para pemain oranye--- gaya rambut jabriknya, tak diragukan lagi, sama dengan yang mereka lihat kemarin malam di penginapan.
Para bandit yang baru muncul semuanya dalah pemain pria yang berpakaian norak. Mereka semua memiliki aksesori berwarna perak dan sub-equipment bergantungan di sekujur tubuhnya.
Silica bersembunyi dibalik mantel Kirito begitu rasa muak semakin meliputinya. Dia berbisik pelan:
"Ki-Kirito onii-chan... musuhnya terlalu banyak. Kita harus lari...!"
"Tenang saja. Siapkan saja kristal kamu sampai kuberi tanda untuk lari."
Kirito menjawab dengan suara kalem, membelai rambut Silica, kemudian berjalan ke sisi lain jembatan tersebut. Silica hanya terdiam dengan kaget. Ini terlalu nekat. Pikir Silica, lalu dia memanggil Kirito:
"Kirito onii-chan...!"
Begitu suaranya terdengar---
"Kirito...?"
Gumam salah satu bandit. Senyumnya memudar dan dia terpana; bola matanya bergerak dari satu sisi ke sisi lain seperti sedang mencoba mengingat sesuatu.
"Pakaian itu... pedang satu tangan tanpa perisai... «The Black Swordsman»...?"
Wajahnya berubah pucat seraya dia melangkah mundur.
"Ini serius Rosalia-san! Bajingan itu... dia seorang beater dan... clearer...!"
Mendengar kalimat itu, ekspresi seluruh anggota lainnya mengeras kaget. Silica juga terkejut. Dia hanya menatap bahu Kirito, yang tidak bisa dibilang lebar, benar-benar tercengang.
Silica tahu bahwa dia adalah pemain yang berlevel cukup tinggi setelah melihatnya bertarung. Namun dia bahkan tidak pernah bermimpi kalau dia adalah salah seorang «Clearer», grup elit dari para pemain kelas atas yang bertarung di dungeon garis depan, dimana tidak seorangpun pernah menjejakkan kakinya, dan bahkan mengalahkan para bos. Dia pernah dengar bahwa mereka berkonsentrasi sepenuhnya untuk menyelesaikan SAO, dan bahkan sangat sulit untuk bertemu mereka di lantai pertengahan---
Rosalia sekalipun terdiam disana dengan mulut terbuka untuk beberapa detik sebelum dia tersadar dan berteriak:
"Ke-kenapa seorang clearer berkeliaran di sekitar sini!? Dia mungkin cuma menyebut dirinya sendiri begitu untuk menakuti kita! Yang dipakainya hanyalah sebuah cosplay. Dan--- kalau pun dia benar-benar «The Black Swordsman», dia pasti kalah dengan orang sebanyak ini!!"
Sepertinya semangat mereka telah dikembalikan oleh kata-katanya, pengguna kapak raksasa yang berdiri di depan para pemain oranye itu menyahut:
"I-iya! Kalau dia seorang clearer pastinya dia punya banyak item dan uang juga kan!? Ini bener-bener kesempatan besar!"
Semua bandit itu sepakat lalu mengeluarkan senjata mereka. Kepingan-kepingan logam itu mengilatkan cahaya jahat.
"Kirito onii-chan... kita ga mungkin menang, ayo lari!!"
Silica berteriak mati-matian dengan kristal tergenggam erat di tangannya. Seperti yang dikatakan Rosalia, Kirito tidak mungkin menang melawan musuh sebanyak ini sekuat apapun dia. Tapi Kirito tidak bergerak. Ia bahkan tidak mengeluarkan senjatanya.
Sepertinya mereka menganggapnya sebagai bentuk kepasrahan; kesembilan pemain tersebut, tidak termasuk Rosalia dan pemain hijau lain, seluruhnya mengeluarkan senjata mereka dan berpacu satu sama lain untuk menyerang Kirito. Mereka menerjang melewati jembatan kecil itu dan lalu---
"Yiaaa!!"
"Mati kauuu!!"
Mereka mengepung Kirito, yang kepalanya tertunduk, dalam formasi setengah lingkaran sebelum mereka semua menyerangnya dengan senjata masing-masing. Badan Kirito bergetar hebat akibat kekuatan sembilan serangan itu.
"Tidak---!!"
Silica berteriak sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.
"Enggak! Berhenti! Kirito onii-chan akan, m...mati!!"
Tapi mereka tidak mendengarkan.
Beberapa dari mereka tertawa gila, sementara yang lain terus mengucapkan sumpah serapah selagi mereka menyerang Kirito bagai dimabukkan oleh rasa kejam. Rosalia, yang berdiri di tengah-tengah jembatan, tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya selagi dia menatap tragedi tersebut sambil menjilati jarinya.
Silica menyeka air matanya lalu menggenggam gagang pisaunya. Dia tahu kalau dia tidak dapat berbuat apa-apa sekalipun ia ikut bertarung, tapi dia tidak lagi bisa untuk hanya berdiri disitu dan menonton. Kemudian, persis sebelum dia melangkah ke arah Kirito--- dia menyadari sesuatu dan berhenti.
Bar HP Kirito tidak berkurang.
Tidak, sebenarnya bar HP itu hanya berkurang sedikit sekali, meskipun digempur hujan serangan yang tidak berkesudahan. Itupun akan terisi kembali setelah beberapa detik.
Bandit-bandit itu akhirnya sadar kalau swordsman hitam di depan mereka tidak menunjukkan tanda-tanda akan tumbang. Ekspresi bingung muncul di wajah mereka.
"Kalian pada ngapain sih!? Bunuh dia!!"
Mendengar perintah Rosalia, hujan serangan pun berlanjut selama beberapa detik kemudian. Namun situasinya tidak berubah.
"Hei... apa yang terjadi...?"
Salah satu bandit membuat wajah seakan dia telah melihat sesuatu yang benar-benar ganjil sebelum dia berhenti bergerak dan melangkah mundur. Keterkejutannya itu dengan cepat menyebar ke delapan orang lainnya, yang kemudian berhenti menyerang lalu menjauhkan diri mereka dari Kirito.
Tempat itu hening seketika, kemudian di tengahnya, Kirito pelan-pelan mengangkat kepalanya. Sebuah suara pelan terdengar:
"---Sekitar 400 setiap 10 detik? Itu jumlah damage yang kalian bersembilan berikan padaku. Aku level 78, HP ku 14,500… ditambah aku otomatis mendapat 600 poin setiap 10 detik dengan «Battle Healing». Kalian semua tidak akan bisa mengalahkanku walau terus memukulku berjam-jam."
Sword Art Online Vol 02 - 076.jpg
Bandit-bandit itu terdiam di tempat dengan mulut terbuka lebar, seperti terkena syok. Akhirnya, si pengguna dua pedang, yang sepertinya adalah wakil ketua mereka, berkata dengan suara kering.
"Ini... apa benar bisa begini...? Ini bahkan sama sekali ga masuk akal..."
"Iya lah."
Kirito pun mengeluarkan ucapan ini:
"Cuma perbedaan angka saja akan membuat perbedaan kekuatan yang sangat besar; itulah bagian ga masuk akal dari sistem level MMORPG!"
Para bandit itu melangkah mundur, seakan mereka terintimidasi oleh suara Kirito, yang tampak seperti menyembunyikan sesuatu dibaliknya. Wajah-wajah kaget mereka digantikan dengan muka ketakutan.
"Che."
Rosalia menggerutu lalu kemudian mengeluarkan sebuah kristal teleport dari pinggangnya. Dia mengangkatnya tinggi-tinggi dan membuka mulutnya:
"Teleport---"
Bahkan sebelum dia dapat menyelesaikan kalimatnya, udara tampak bergetar selama sepersekian detik dan kemudian Kirito sudah berdiri tepat di depannya.
"Ack..."
Begitu Rosalia membeku sesaat, Kirito merebut kristal dari tangannya, lalu menggenggam kerahnya dan menariknya kembali ke arah bandit-bandit lainnya.
"Le-lepaskan aku!! Kau ingin melakukan apa brengsek!!"
Kirito melemparnya ke arah sekelompok bandit tersebut, yang sedang berdiri terpana, dan kemudian mulai mengobrak-abrik kantongnya tanpa berkata apa-apa. Kristal yang dikeluarkannya juga berwarna biru. Tapi warnanya jauh lebih tua daripada kristal teleport.
"Orang yang memintaku melakukan ini membeli kristal koridor ini dengan semua uang yang dimilikinya. Katanya dia sudah mengatur Kastil Besi Hitam sebagai tempat keluarnya.. Jadi aku akan menteleport kalian semua ke penjara, terus «The Army» bisa mengurus sisanya dari situ."
Rosalia, yang sedang duduk di bawah, terdiam selama beberapa saat sebelum dia tersenyum seperti itu hanya gertakan.
"—Dan kalau aku bilang aku ga mau?"
"Akan kubunuh kalian semua."
Senyum di wajahnya membeku begitu mendengar jawaban singkat Kirito.
"—adalah yang ingin kukatakan... tapi jika begitu maka aku akan menggunakan ini."
Kirito mengambil sebuah pisau kecil dari dalam mantelnya. Jika diperhatikan dengan seksama, terlihat sebuah cairan hijau yang samar-samar di permukaannya.
"Racun pelumpuh; ini racun level lima, jadi kalian ga akan bisa bergerak untuk sekitar sepuluh menit. Waktu segitu cukup untuk memasukkan kalian semua ke koridor... Jalan sendiri, atau kujebloskan; itu pilihanmu."
Tidak ada yang menggertak sekarang. Setelah melihat mereka semua menundukkan kepalanya tanpa suara, Kirito melepaskan pisaunya, mengangkat kristal biru tua itu tinggi-tinggi, kemudian berteriak.
"Koridor terbukalah!"
Kristal itu pecah berkeping-keping dalam sekejap lalu muncul sebuah pusaran biru cahaya.
"Dasar sial..."
Pengguna kapak yang berpostur tinggi adalah yang pertama berjalan ke koridor dengan bahu tergantung. Sisa pemain-pemain oranye kemudian lenyap di dalam cahaya satu demi satu, beberapa dengan diam, beberapa lagi sambil menyumpah-nyumpah ketika berjalan memasukinya. Setelah pemain hijau yang mengumpulkan informasi mengikuti mereka, yang tersisa hanyalah Rosalia.
Bandit berambut merah itu mencoba bergerak sekalipun tidak bahkan setelah semua kawanannya lenyap ke koridor. Dia duduk dengan kaki bersila dan menatap Kirito seperti mau menantangnya.
"...Yah, coba saja kalau bisa. Kalau kau menyakiti pemain hijau kau akan menjadi pemain oranye..."
Kirito menggenggam kerahnya bahkan sebelum ia selesai bicara.
"Kuberitahu kau: aku ini solo; menjadi oranye untuk sehari dua hari ga berarti apa-apa bagiku."
Kirito berkata dengan dingin sebelum menyeretnya ke koridor. Rosalia melawan dengan memukul-mukulkan lengan dan kakinya.
"Tunggu, kumohon, berhenti! Maafkan aku! Huh?! ...Ah, benar, kau, maukah kau bekerja denganku? Dengan kemampuanmu kita bisa mengalahkan guild manapun..."
Rosalia tidak pernah menyelesaikan perkataannya. Kirito melempar Rosalia ke koridor dengan kepala duluan. Setelah dia menghilang, koridor itu bersinar terang selama sesaat kemudian lenyap.
Semuanya menjadi tenang lagi.
Padang bunga yang penuh dengan suara-suara alami, kicauan burung dan aliran air, menjadi sepi kembali seakan semua yang baru saja terjadi hanyalah sebuah kebohongan. Tapi Silica tidak bisa bergerak. Kekagetannya terhadap identitas asli Kirito, kelegaannya terhadap perginya para bandit, semua emosi ini membanjir secara bersamaan, membuatnya tidak mampu untuk membuka mulutnya sekalipun.
Kirito memiringkan kepalanya dan diam-diam mengamati Silica yang sedang terkesima selama beberapa saat sebelum dia akhirnya mengatakan sesuatu hampir seperti bisikan:
"...Maaf, Silica. Sepertinya aku malah menggunakanmu sebagai umpan. Aku sudah mempertimbangkan untuk memberitahumu sendiri... tapi kupikir kamu akan ketakutan sehingga aku tidak jadi melakukannya."
Silica mati-matian mencoba menggelengkan kepalanya, namun ia tidak bisa; saking banyaknya pikiran-pikiran yang berputar membanjiri kepalanya.
"Aku akan mengantarmu ke desa."
Ujar Kirito lalu dia mulai berjalan. Silica entah bagaimana berhasil memaksa suaranya keluar menuju Kirito.
"Kakiku—kakiku tidak mau bergerak."
Kirito menengok ke belakang dan menawarkan tangan kanannya disertai sebuah senyuman; Silica akhirnya tersenyum begitu ia memegang erat tangan itu.

Keduanya tetap terdiam sampai mereka tiba di Weathercock Tavern di lantai tiga puluh lima. Ada banyak sekali hal yang ingin dikatakan Silica, tapi ia tak mampu mengatakannya, seakan ada batu koral yang tersangkut di kerongkongannya.
Ketika mereka naik ke lantai dua dan memasuki kamar Kirito, cahaya merah matahari terbenam sudah mengalir masuk melalui jendela. Silica akhirnya berhasil berbicara dengan suara gemetar kepada Kirito, yang sudah tampak seperti siluet hitam karena cahaya matahari.
"Kirito onii-chan... kamu mau pergi...?"
Setelah terdiam lama, siluet itu pun mengangguk pelan.
"Iya... aku sudah pergi dari garis depan selama lima hari. Aku harus kembali mulai menyelesaikan game ini lagi secepat mungkin..."
"...Benar juga..."
Sebenarnya, Silica ingin memintanya untuk membawa serta dirinya.
Tapi ia tidak bisa.
Levelnya Kirito 78. Levelnya dia 45. Dengan selisih level 33--- perbedaan yang memisahkan mereka jelas sangat menyakitkan. Jika dia mengikuti Kirito ke garis depan, Silica akan mati dalam sekejap. Walaupun mereka berada dalam game yang sama, dinding yang lebih tinggi dari apapun di kehidupan nyata berdiri diantara dunia mereka yang begitu berbeda.
"...A...Aku..."
Silica menggigit bibirnya dan mati-matian berusaha untuk menahan emosinya yang terancam meluap; dua aliran air mata yang terbentuk sebagai hasil dari perasaannya itu lalu bergulir menuruni pipinya.
Tiba-tiba, dia merasakan tangan Kirito di pundaknya. Sebuah suara pelan yang lembut berbisik tepat disampingnya:
"Level itu cuma angka-angka. Kekuatan di dunia ini tak lebih dari sebuah ilusi. Ada hal-hal yang jauh lebih penting dari itu. Jadi ayo kita bertemu lagi di dunia nyata. Kalau kita bertemu lagi, kita akan bisa berteman lagi."
Sebenarnya, Silica ingin bersandar ke Kirito di depannya. Namun begitu ia merasakan ucapan Kirito menyebarkan kehangatannya dalam hatinya yang sedang hancur, ia menyadari kalau dia tidak boleh berharap lebih darinya. Kemudian dia menutup matanya dan bergumam:
"Oke. Ini—ini janji ya."
Dia memisahkan dirinya dari Kirito, menatap wajahnya, dan akhirnya dia bisa tersenyum dengan sungguh-sungguh. Kirito juga tersenyum lalu berkata:
"Jadi, ayo kita panggil Fina."
"Oke!"
Silica mengangguk lalu melambaikan tangan kanannya untuk memunculkan layar utama. Dia menggulung inventaris itemnya dan mengeluarkan «Fina's Heart».
Dia meletakkan bulu biru langit yang keluar dari layar di meja lalu dia juga mengeluarkan «Bunga Pneuma».
Dengan bunga putih mutiara di tangannya, dia menutup layar itu lalu memandang Kirito.
"Yang harus kamu lakukan hanyalah meneteskan tetesan air yang ada di tengah-tengah bunga itu ke bulu Fina. Setelah kamu melakukan itu Fina akan kembali."
"Oke..."
Sambil memandangi bulu biru langit itu, Silica berbisik dalam pikirannya.
Fina... aku punya banyak sekali cerita untukmu; tentang petualangan menakjubkan yang kualami hari ini... dan tentang orang yang menyelamatkanmu, orang yang menjadi kakakku hanya untuk sehari.
Dengan air mata di matanya, Silica memiringkan bunga di tangan kanannya menuju bulu tersebut.
(Selesai)
Next Prev
▲Top▲